Tokoh utama dalam buku ini adalah Mas’ud, seorang ahli peta atau kartografer yang masyhur dari kota Baghdad yang menyelinap ke dalam kapal perompak dan akhirnya membawanya dalam sebuah perjalanan dengan “misi”.
Mas’ud meninggalkan kota baghdad, serta istrinya yang sedang hamil tua untuk menyelesaikan peta pulau Swarnadhipa (Sumatera) yang belum sempat ditinggalkan ayahnya. Perjalanannya menyusuri gurun, membawanya pergi ke belahan dunia lain, kemudian berakhir di kapal perompak yang membuatnya hampir dipenggal oleh perompak. Namun beruntungnya masud diselamatkan oleh seorang Biksu yang turut dalam “misi” tersebut.
Di kapal itu masud bertemu dengan raja perompak, pembayun atau penasihat kerajaan, seorang samurai yang buta, biksu yang ternyata semuanya memiliki dendam yang harus dituntaskan
Remasut, si Raja Perompak ingin membalaskan dendam untuk petinggi kerajaan Sriwijaya yang menghabisi nyawa orangtua dan sukunya. Samurai ingin membalaskan dendam nya untuk petarung dari India yang membuatnya kehilangan lembah subur dan orang-orangnya yang dicintainya, serta membuatnya harus kehilangan pengelihatannya. Sementara Pembayun atau penasihat kerajaan yang patah hati karena orangtua dari gadis yang dicintainya tidak memberikan restunya pada hubungan dan memutuskan untuk ikut dengan Remasut di kapal perompak.
Seperti biasa, Tere Liye menghadirkan pesan pesan tiap bab di dalam buku ini, bahwa sejatinya memilih berdamai dan memaafkan adalah sesuatu yang bernilai besar.
Masud tidak saja menyelesaikan peta pulau Swarnadhipa selama perjalananannya, namun juga turut memberikan saran pada Remasut tentang meruntuhkan kota-kota penting yang menjadi tiang bagi kerjaan Sriwijaya.
Alur dalam buku ini maju mundur, namun kebanyakan menggunakan alur maju. Alur mundur hadir saat tokoh lain menceritakan masa lalu mereka.
Ending dari buku ini seperti yang diharapkan pembaca, yaitu happy ending. Namun lumayan memberi efek“mengejutkan” karena para tokoh di dalam buku ini memilih untuk membiarkan rasa sakit, dendam dan memilih untuk berdamai dengan rasa sakit, karena semua rasa sakit dan dendam nya “telah lama pergi”.
Para tokoh menemukan alasan baru mengapa mereka harus meruntuhkan kerajaan Sriwijaya yang tamak dan semena mena terhadap para rakyat nya.
Secara keseluruhan buku ini cocok dibaca untuk semua kalangan, bahkan cocok dibaca untuk para pejabat. Untuk orang -orang yang menyukai kisah sejarah klasik, buku ini bisa menjadi bacaan selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H