Legenda dengan keajaiban dan pesan-pesan kuno yang tersemat dalam setiap narasinya, telah menyusup ke dalam kekayaan budaya setiap masyarakat. Dari zaman kuno hingga zaman modern, cerita-cerita legenda menjadi bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan pijakan penting bagi nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat. Legenda mengajak kita menelusuri kisah-kisah yang memperkaya jiwa dengan makna mendalam.
Bicara tentang legenda, maka tak akan lepas dari tradisi. Legenda dan tradisi saling mengisi dan membentuk pondasi yang kokoh bagi warisan budaya suatu masyarakat. Legenda, sebagai cerita-cerita penuh keajaiban dan makna, menjadi panggung di mana nilai-nilai, kebijaksanaan, dan moralitas dapat dipahami. Sementara itu, tradisi adalah tindakan-tindakan yang merayakan dan mewariskan warisan tersebut kepada generasi-generasi berikutnya. Keduanya saling terkait dan saling menguatkan.
Salah satu tradisi yang berkembang di Jawa adalah sabung ayam. Sabung ayam adalah permainan mengadu dua ekor ayam dalam sebuah arena. Biasanya ayam akan diadu hingga salah satu darinya kabur atau kalah, bahkan hingga mati. Permainan ini biasanya diikuti oleh perjudian yang berlangsung tak jauh dari arena adu ayam.
Tradisi sabung ayam tergambar pada cerita rakyat asal Jawa Timur berjudul Cindelaras. Cindelaras bercerita tentang seorang anak yang memiliki ayam sakti dan diundang oleh Raja Jenggala, Raden Putra untuk mengadu ayam. Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu syarat, jika ayam Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya dipancung, tetapi jika ayamnya menang maka setengah kekayaan Raden Putra menjadi milik Cindelaras. Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya. Akhirnya raja mengakui kehebatan ayam Cindelaras dan mengetahui bahwa Cindelaras tak lain adalah putranya sendiri yang lahir dari permaisurinya yang terbuang akibat iri dengki sang selir.
Jika kita tilik ke belakang, sabung ayam telah ada dan dimainkan sejak masa kerajaan di nusantara, di masa Kerajaan Kadiri Chou Ju-Kua (1042-1222). Dahulu kala di wilayah kepulauan Asia Tenggara, terdapat dua kerajaan yang memiliki kekuatan dan kekayaan yaitu Sriwijaya dan Jawa (Kadiri). Di Jawa, ditemukan bahwa masyarakatnya menganut dua agama utama, yaitu Buddha dan agama Brahmana (Hindu). Orang-orang Jawa dikenal sebagai individu yang berani dan penuh semangat, dan waktu senggang mereka sering dihabiskan untuk kegiatan adu binatang. Sabung ayam dan adu babi menjadi sumber hiburan yang populer di kalangan mereka.
Sabung ayam juga mencatat sebuah kejadian bersejarah dalam konteks politik pada masa Kerajaan Singosari. Kisah ini berkaitan dengan kematian Prabu Anusapati yang tragis, terjadi ketika beliau tewas saat menyaksikan pertandingan sabung ayam. Peristiwa ini terjadi ketika kerajaan Singosari sedang merayakan acara kebesaran di Istana Kerajaan, termasuk di dalamnya terdapat pertunjukan sabung ayam. Peraturan yang diberlakukan pada saat itu menyatakan bahwa siapa pun yang memasuki arena sabung ayam dilarang membawa senjata atau keris. Sebelum Anusapati pergi ke arena sabung ayam, ibunya, Ken Dedes, memberikan nasihat kepada anaknya agar tidak melepaskan keris pusaka yang sedang dipakainya jika ingin menyaksikan pertunjukan tersebut di Istana. Namun, terpaksa Anusapati melepaskan kerisnya sesaat sebelum sabung ayam dimulai, atas desakan Pranajaya dan Tohjaya. Kekacauan terjadi di arena, dan akhirnya peristiwa yang ditakuti oleh Ken Dedes pun terjadi, dengan Anusapati yang tewas terbunuh oleh adiknya Tohjaya yang tertusuk oleh keris pusakanya sendiri. Kejadian tersebut menjadi kisah tragis yang tetap dikenang oleh masyarakat. Anusapati adalah kakak dari Tohjaya, memiliki ibu Ken Dedes dan bapak Tunggul Ametung, sementara Tohjaya adalah anak dari Ken Arok dengan Ken Umang yang dalam legenda memiliki kecenderungan menyukai sabung ayam.
Sabung ayam telah menjadi praktik yang mengakar dalam tradisi Jawa selama berabad-abad hingga sampai saat ini. Di masa sekarang, tradisi sabung ayam menjadi subjek perdebatan hangat antara mereka yang mempertahankan nilai-nilai budaya dan mereka yang menuntut perlindungan terhadap kesejahteraan hewan. Dalam menyikapi sabung ayam di Jawa, kita dihadapkan oleh dilema yang melibatkan pertentangan antara tradisi bersejarah dan tuntutan etika yang semakin mendesak di era modern.
Tradisi sabung ayam di Jawa bukan hanya sekadar pertandingan fisik antara dua ayam jago, namun merentang lebih jauh ke dalam kerangka budaya dan spiritual. Dalam banyak kasus, sabung ayam dihubungkan dengan ritual keagamaan atau upacara tradisional. Sejarah panjang sabung ayam di Jawa juga mengungkapkan aspek mistis atau spiritual yang melekat dalam praktik ini. Ada keyakinan bahwa pertarungan antara ayam membawa makna simbolis yang mendalam, terkait dengan keberuntungan atau hubungan dengan dunia gaib. Perpaduan antara unsur budaya dan spiritual dalam sabung ayam menandakan bahwa praktik ini bukan sekadar pertunjukan hiburan, tetapi juga memiliki dimensi keagamaan dan budaya yang kuat.
Namun, di tengah kekayaan tradisi ini, sabung ayam juga menjadi sumber kontroversi yang semakin meningkat di era modern. Kelompok hak-hak hewan dan sebagian besar masyarakat yang mendukung kesejahteraan hewan mengecam praktik ini sebagai bentuk kekejaman yang tidak dapat diterima. Penggunaan taji atau pisau yang terpasang pada kaki ayam untuk meningkatkan keintensitasan pertarungan sering kali mengakibatkan cedera serius dan penderitaan yang tidak perlu.
Konflik etika muncul ketika kita dihadapkan pada pertanyaan dasar tentang sejauh mana kita harus mempertahankan suatu tradisi yang melibatkan penderitaan hewan. Apakah penting untuk melestarikan nilai-nilai budaya, ataukah kita harus lebih mengutamakan keadilan terhadap makhluk hidup yang terlibat? Pertanyaan ini menantang masyarakat Jawa dan masyarakat yang memiliki tradisi serupa di seluruh dunia untuk berpikir kritis tentang nilai-nilai yang mereka anut.