Tim Indonesia mengidap penyakit ejakulasi dini yang akut
Semangat kebangsaan, nasionalisme dan sebagainya pada titik tertentu memang perlu. Dan memang kita perlukan. Dengannya kita merasa dipertautkan kembali menjadi satu nasion. Satu percikan perasaan bahwa kita yang tersebar dari Sabang sampai Merauke adalah sebaris rasa yang sama : perasaan sebagai anak Republik, bagiamanapun bobroknya sistem republik tersebut.
Dengan semangat seperti itulah, dengan bumbu patriotisme yang telah lama menciut kita seakan dibangkitkan kembali dari mati suri. Dan kitapun menyaksikan semangat buas untuk melakukan perlawanan terhadap keterpurukan dalam sudut-sudut kehidupan kita sebagai bangsa.
Lalu kita pun melihat semangat itu meledak, menggetarkan bumi dan menyihir kita semua dalam bentuk dukungan yang sangat masif terhadap tim sepakbola kita. Semangat yang sebenarnya sungguh di luar sangka kita. Semangat tersebut berpijak pada asumsi tingginya rasa malu terhadap segala bentuk kekalahan kita sebagai bangsa. Ada rasa muak pada kekalahan terhadap Malaysia. Ada sakit hati yang berkecamuk karena prestasi sepakbola kita tak pernah bisa beranjak jauh: di level Asia Tenggara sekalipun kita tak bisa sesumbar mendominasi. Apalagi di asia. Apalagi di dunia.
Nasionalisme kebangsaan kita akhirnya mencari jalan sendiri untuk lepas dari kekangan yang selama ini mengikatnya. Kemeriahan laga AFF Desember ini membuktikan bahwa selama ini ternyata semangat kebangsaan itu masih ada. Dan kadarnya juga luar biasa.
Semangat tersebut tampaknya didominasi oleh berkuasanya nafsu ingin menang tim kita setelah selama puluhan tahun terus menelan rasa malu terhadap negeri negeri tetangga yang sepakbolanya baru lahir seperti Myanmar dan Laos misalnya. Kekalahan yang terus menerus menyebabkan rasa apatis bahwa sepakbola kita memang telah dinujum tidak akan bisa bangkit.
Bagaimanapun juga Gonzales, Irfan dan Nasuha telah menunjukkan adanya harapan ke arah terpenuhinya syahwat pembalasan atas keterpurukan selama ini. Namun lagi-lagi kita saksikan suatu drama penyanderaan dalam urusan apapun di negara kita termasuk sepakbola. Drama penyanderaan tersebut terlihat antara lain adanya anggapan bahwa kita harus menang terus. Kita harus meraih juara kali ini. Itulah yang menyandera pemain-pemain kita. Mereka bermain tidak lagi leluasa karena adanya tekanan psikologis yang dahsyat.
Penyanderaan lain yang juga sangat merusak citra adalah menyengatnya aroma politik dalam dunia sepakbola kita. Segala persoalan dijadikan kemasan politik. Dibuat sedemikian rupa untuk dijadikan kendaraan politik oleh pihak-pihak tertentu. Golkar misalnya.. partai ini dengan sigap langsung membikin istigosah mendoakan kemenangan tim kita.
Padahal doa sepanjang apapun, tak ada gunanya bila tidak dibarengi dengan latihan yang cukup. Juga latihan untuk menerima secara lapang dada bahwa prestasi kita sebenarnya belum terlalu patut dibanggakan. Nafsu menang yang telah ada ditenggorokan akhirnya membentur tembok kenyataan yang keras bahwa kita memang belum bisa menandingi Malaysia yang selama ini telah mempecundangi kita dalam segala aspek.
Laga tim kita di stadion Bukit Jalil Kuala Lumpur alhasil adalah antiklimaks dari kemenangan terus menerus yang kita raih sebelumnya. Ibarat orang yang berhubungan intim, kita terlalu cepat orgasme. Kita mengidap ejakulasi dini yang akut. (**)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H