Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Trik Meracik Bad News Menjadi Good News

18 April 2015   21:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:56 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14294561481195082293

[caption id="attachment_411236" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi | suavv.com"][/caption]

Tibalah 'kesenangan' ketika orang lain tertimpa keburukan.Begitu komplit jiwa manusia, difasilitasi oleh dua kutub hati: Bad heart dan Good Heart! Penulis pun kerap 'senang' melihat orang lain susah! Ini jelas 'buruk hati', berikutnya koginitifku berjibun tanya: "Apa gerangan untungku bila happy saat orang lain not happy?". Lalu, istilah lainnya serupa Bad news is good news, telah lama populer dan dianut oleh banyak orang. Sepahamlah dengan kalimat Inggris ini. Sekauman penulis dan penyimak berita, latah dengan quote ini! Ia turut memperkuat berita buruk itu sendiri.

Penulis yang ber-good nawaitu, ialah pemoles berita buruk menjadi sedikit lebih baik! Bukan melebar-luaskan keburukan berita itu!  Kenapa? Karena semaian berita buruk, diharapkan hidup tetumbuhan yang berdaun hikmah, beranting kebijaksanaan dan berbuah perkuliyahan.

Kita (pembaca) sesekali/banyak kali membaca tulisan yang justru semakin menjerumuskan akan sebuah telaah berita buruk. Kita jadi 'eneg' membacanya. Kenapa? Karena tak dijumpai pandangan kebaikan di sana! Ini jelas sugesti negatif kepada jiwa pembaca.

Tak mudah menjadi penulis berkarakter, juga tak gampang meracik artikel berkarakter pula. Perspektif emosional memanglah menjadi daya dorong pada sebuah berita tak baik, sekali-sekali janganlah terhanyut akan ke-emosi-an itu, hingga konten artikel menjadilah sebuah aksara/tulisan yang justru menambah-nambah keburukan lagi. Itu tak baik untuk penulis sendiri, terlebih kepada sejumlah pembaca!

Representasi berita buruk itu

Ujaran generik yang kerap disebutkan dalam representasi kasus-berita buruk adalah empati. Hakikatnya adalah memasukkan perasaan terlebih awal atas pemberitaan itu, seolah kita ada di dalam serentetan berita buruk itu. So, posisi kita ganda: Melihat dan Dilihat! Penulis yang mana lagi yang tak sanggup 'gelisah dan resah' bila telah terlibat dalam berita buruk itu? Dengan demikian, maka muncullah kalimat-kalimat yang seimbang karena kita merangkap peran, sebagai penulis dan sebagai yang dituliskan.

Inilah salah satu trik yang mendasar-utama-pokok. Sebab penulis terundang untuk menuliskan atau memandang -setidaknya mendekati obyektif- berita buruk itu sebagai sesuatu yang tak terjadi dengan pola sim sala bim, begitu saja dan kebetulan. Inilah yang jarang kita latihkan diri untuk berempati kepada pelaku atau korban dalam sebuah berita miring, asusila atau crime. Penulis meyakini bahwa faktor 'representasi kasus' adalah password untuk menyulap berita buruk menjadi baik! Baik dalam penghayatan maupun dalam mengerem tingginya emosi khalayak hingga lose control.

Pemilihan diksi

Merawat branding penulis, yakinilah bahwa pembaca sangat terkesan dengan pilihan-pilihan diksi di beberapa artikel sebelumnya. Tiada kesan baku di sini, sebab setiap penulis dapat dengan leluasa menulis apa saja yang ia rasa memang penting untuk dituliskan. Tarulah satu tulisan saja, diksi yang bagaimana kita pilih? Ketahuilah, beberapa diksi yang sebetulnya tak ideal, tidak pas dan tidak sreg. Tetapi kita paksakan memilihnya dan juga sedang malas-malasan untuk menyortir diksi itu untuk lebih baik, mengena dan tepat. Contoh kata 'goblok', lebih enak dibaca bila dituliskan 'kurang pintar', kata 'pendek' bisa disubtitusi menjadi 'kurang panjang', kata 'benci' ya tukar saja dengan kata 'kurang suka'.

Esensi pemilihan diksi supaya pembaca juga tidak ikut-ikutan main sikut-sikutan setelah membaca artikel kita. Itu fungsi bersabar dalam pemilihan diksi dalam menulis, termasuk pemilihan kalimat dalam memberi komentar. Ini juga bagian inti dalam area tulis-menulis. Pernahkah kita menulis komentar, lalu memertimbangkan kembali dalam men-submit-nya? Apa tak lebih baik dan safety bila komentar itu disempurnakan demi menjaga harmoni? Ini juga butuh praktikum! Persis menulis berita buruk menjadi lebih soft, pun rindu latihan-latihan khusus. Kita memang telah berulang-ulang latihan menulis tetapi barangkali kita belum berlatih dalam memilah dan memilih diksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun