Membunuh majikan, anak majikan. Bukan perkara sederhana! Multi-faktorial berada di pigura TKW kita. Nampaknya hadir ketidakharmonisan batin di sana. Penulis menelisiknya dari Psikologi Kesehatan, hingga organ tubuh pelaku pembunuhan majikan menjadi momok dunia tenaga kerja kita. Tiap-tiap perbuatan (behavior) diawali dengan motif, demikian juga sekumpulan motif tenaga kerja kita, kala saudara-saudari kita itu 'mengundi nasib' di Timur Tengah ataukah negara Asia semisal Hong Kong, Taiwan dan Jepang. Potensi 'gangguan jiwa' siapa saja bisa terpapar yang dibekingi oleh stres berat (depresi). Energi depresi senantiasa mencari jalan alternatif sebab inilah gangguan jiwa yang terpopuler dan tiada manusia yang menyukainya.
* * *
Penulis seolah ingin mengusulkan agar tanaga kerja kita (terutama TKW) diberikan pendampingan psikologik dari pemerintah Indonesia, idealnya para TKW itu dimonitoring dan dievaluasi attitude-nya, diberikan remark: baik-sedang-buruk. Ini perlu demi mengantisipasi tindak-tindak kriminal yang mendunia itu. Indonesia mungkin tergolong negara yang mengirim tenaga kerja sekaligus 'pembunuh'. Ini cukup satire setelah dibentangkan fakta berulang-ulang akan tindakan kekerasan fisik oleh TKW kita. Penulis tiada akan pernah menyalahkan TKW seorang diri, sebagai pihak yang dipreteli unsur kemanusiaannya. Tetapi ini, mutlak miss-management dari pemerintah, lembaga-lembaga pengirim tenaga kerja dan juga alat kontrol yang begitu tak berdaya.
banjarmasin.tribunnews.com
TKW diterjunkan bak cemplung di suatu area yang mereka tidak mengetahui medannya, budayanya, prinsip-prinsipnya dan adat-adat lainnya. TKW hanya diberitahu (umumnya) tentang geografis, iklim, perilaku umum tentang negara yang didatangi. Solusi alternatifnya sebetulnya ada, yakni program simulasi. TKW sebelum ke negara tujuan, telah diberikan simulasi di tanah air. Misalnya, simulasi berinteraksi dengan majikan (peran ini harus orang asli negara yang dituju). Ataukah TKW di-tour-kan dulu di perkampungan-perkampungan representatif negara yang akan ditempati bekerja. Ini bertujuan untuk memantapkan pola adaptasi.
Penulis amat tidak tahu apa saja yang diberikan kepada TKW sebelum diberangkatkan ke negara-negara yang masuk dalam daftar tujuan tenaga kerja. Dan, satu hal pokok yang penulis uraikan dari sisi psikologik bahwa ada ketimpangan dalam area mentalitas. Seorang TKI yang juga Kompasianer aktif bernama Mukti Ali, bermukim di Dubai. Penulis menanyakan kepadanya: "Mengapa tenaga kerja di Dubai jarang terjadi masalah serius? Beda dengan tenaga kerja di Arab Saudi?" Dua poin pertanyaan itu dijawab spontan oleh Mukti Ali seperti ini:
"Ya ada juga masalah sih, memang enggak sebanyak seperti di Saudi...ini mungkin ya, belum tentu bener, orang Arab Dubai enggak seganas orang Arab Saudi..."
Lalu, penulis lontarkan pernyataan seperti ini:
Saya memandangnya justru TKI kok ganas-ganas sampai membunuh gitu di Saudi? Apa iya TKI yang ke Saudi kelasnya lain? Atau di Dubai, TKI-nya memang mumpuni?
Dicocor lagi oleh Mukti Ali:
Saya kira sama saja, untuk yang kerja di rumah, kebanyakan memang pendidikannya minim...pembantu bisa ganas bisa jadi akibat akumulasi kekesalan kepada majikannya. Orang Arab kalau menyuruh memang keterlaluan! Menurut mereka standar tapi menurut orang Indonesia kasar banget...."