Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Telisik Dirilah saat Anak Membangkang!

1 Februari 2015   21:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:59 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14227742461077464689

[caption id="attachment_394342" align="aligncenter" width="300" caption="www.vivirsanos.com"][/caption]

KATA perwira polisi yang kujumpai semalam itu, intropeksi dirilah saat anak membangkang. Dan ucapannya itu berbuah tulisan, kali ini. Dua jam bersamanya, di teras rumahnya, diskusi soal anak-anak, masa depan dan teknik berinteraksi. Ngobrol soal anak, memang membahagiakan. Ada rasa bangga jika anak-anak kita, baik-baik saja. Dan, ada semangat hidup sebagai orang tua, bila mereka normal-normal saja. Asyik memang!

Namun, fakta sosial budaya lainnya, mengindikasikan betapa plural anak yang mengacaukan pikiran ayah ibunya. "Ah itu hanyalah efek dari cara kita menyikapinya sejak kecil," kata sahabat polisiku itu. Lalu, saya teringat quote ibuku (almarhumah): "Anak itu kaset, merekam semua kata dan tindakan kita." Lha, esensinya orang tua itu paham cara mendidik anak, yang belum dipahami bagaimana menerapkannya. Teori mendidik demikian berjibun, ramai dan bukunya berderet-deret. Sayang sekali, semua itu hanyalah pranala! Yang utama adalah 'buku' ciptaan sendiri yang bertitel 'Lebih Dekat dengan Anak'.

Anak-anak kampus

Dekat dengan mahasiswa, menjadi alasan tersendiri mengamati perilaku mereka, terlebih mahasiswa yang menjadi 'anak kandungku' (baca: anak penasehat akademik). Pembawaan mereka seaslinya, ada yang fleksibel, ceria, pemberani, penakut, alot, dan seterusnya. Saya melihat mereka, hanyalah buah dari pendidikan non-formal (pendidikan keluarga, red) semasa kecil dan remaja, hingga menjadi mahasiswa. Seorang di antaranya begitu mudah menangis. Kutanyakan latar belakang keluarganya, karena kewajibanku sebagai penasehat akademik. Persoalan privacy pun wajar saya klarifikasi sebab berhubungan dengan kondisi belajar yang bersangkutan.

Pengakuannya, telah bisa ditebak bahwa mahasiswa cengeng itu, akrab dengan tekanan saat ia masih kecil/remaja, kemarahan tanpa alasan kerap diperoleh dari ayahnya. Lalu, saya tersenyum. Karena semuanya bisa diperbaiki, soal perilaku buruk sang ayah dapat ditutupi. Bukan jadi alasan utama untuk tetap pada perilaku 'cegeng dan nangis' bagi mahasiswaku itu.

Tak dibenarkan juga bila sudah dewasa begitu, masih setia mencari akar penyebab atas perilaku kita saat ini. Ayah memang sudah keliru, namun kita jangan ikut menambah kekeliruan sebagai anak. Itu sudah sejarah, takkan bisa sejarah diputihkan atau dibelokkan. Kalimat ini cukup menjadi pelajaran kepadaku -sebagai ayah- untuk lebih care, lebih hati-hati dalam mengumpan perilaku.

Anak-anak Polisi

Kisruh internal POLRI kita saat-saat ini, saya terkesima ringan bahwa mereka itu terdiri dari individu-iindividu yang pernah memperoleh pendidikan family, pendidikan keluarga (tak formal). Sayang asal kata pendidikan family semestinya familiar. Idealnya, problematika yang melilitnya bisa diakhiri dengan teknik kekeluargaan dengan institusi lainnya. Lebih sayang lagi, institusi lainnya pun belum familiar.

Bisa diluaskan lagi bahwa soal jabatan, pangkat (bripda-jenderal) itu cumalah simbol, rentang-rentang karier dan status. Soal perilaku baik, tak mengenal status sosial. Dan, 'Anak-anak polisi' itu sudah besar, dewasa, malah sudah jadi orangtua. Mereka takkan lepas dari bayang-bayang pendidikan orang tua mereka, saat mereka bayi-remaja-dewasa.

Maka simpulan sederhananya, negara ini kuat atau lemah, problem dasarnya berada di tangan keluarga, rumah tangga dan lingkungan di masa kecil. Teori positivistik masih bisa menolong kita bahwa perilaku buruk yang tersaji saat-saat ini, masihlah bisa dipoles. Memang begitulah kehidupan, pola edukasinya berdinamika, dan tiada kata akhir untuk memoles diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun