[caption caption="Praktisi Taxi Illegal Bandara Sultan Hasanuddin Menjajal Penumpang IFoto: M.Armand"][/caption]Sepulang dari Ajang Raya Kompasianival 2015 (Gancit-Jakarta), Selasa (15 Desember 2015) dini hari, tiba di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar. Penulis cukup kaget dengan pemandangan lama bersemi kembali di bandara kebanggaan Sulawesi Selatan. Saat penulis 'exit', penjajal penumpang sahut-sahutan tawarkan kendaraan roda empat. Saya tak menyangka, masih ada taxi illegal itu.
Penulis tak hendak membuka aib bandara ini, namun cukup menjadi cermin bagi penulis bahwa nampaknya 'pembersihan' taxi illegal tahun lalu, tinggallah cerita. Kala itu, penulis kesulitan transportasi menuju kediaman. Sebab pertama; driver kendaraan pribadiku, handphone-nya off, mungkin lowbat atau tertidur karena kelamaan menunggu penulis. Sebab kedua; aplikasi Go-JEK dini hari itu, sedikit mengalami gangguan.
Penyebab ketiga; bawaanku bukan bawaan biasa, ada empat benda yang sangat bernilai buatku, wajib kujaga karena benda itu amanah dari kawan-kawan Kompasianaku dan juga amanah admin Kompasiana beserta dewa juri, berikut para panitia. Ialah: "Kompasiana Awards 2015".
[caption caption="Inilah Amanah dari Kawan-kawan Kompasianaku. Wajib Kujaga Selalu"]
Setor 20.000 Pak
Pada driver taxi illegal, penulis ngobrol tentang rute. Mesin mobil baru saja dinyalakan, seorang berjaket hitam, kurus, pakai topi hitam sudah berada di depan mobil, sambil merokok. Driver taxi turun menemui 'beliau', menyerahkan uang Rp.50.000 (lima puluh ribu rupiah). Driver kembali ke jok kemudi, saya bertanya: "Innai injo Daeng? Anngapai na risare doi?". (Terjemahan: Itu siapa Daeng? Kenapa dikasi uang?)
Driver itu langsung menjelaskan cukup lama, begini (kira-kira) ucapan-ucapannya:
"Yang tadi itu Pak. Dialah yang pegang kita di sini. Dialah yang setor ke petugas. Kita tidak tahu berapa yang disetor. Itu urusan mereka. Kita diwajibkan menyetor dua puluh ribu setiap hari. Supaya kita aman. Kita main kucing-kucingan di sini, Pak. Saya tahu ini salah, tapi anakku masih kecil-kecil Pak. Saya juga ngontrak 400.000 per bulan. Ini mobil, mobil orang yang saya bawa. Harus menyetor 200.000 perhari. Hidupku susah pak. Ini saja baru dapat penumpang"
Nampaknya gaya bicara driver ini, berusaha membujukku agar saya tidak tuliskan di media karena sebelumnya saya sudah bilang akan menuliskan di media. Berikutnya, ia berusaha alihkan perhatian kepada komunikasi dan 'industri derita'. Padahal bukan itu yang kugugat! Ini bandara internasional tetapi transportasi yang menyimpang begini, jelas merubuhkan performance sebagai 'bandara kelas dunia'.
Lagi-lagi, Kompasianer Makassar ini, tiada hendak menjatuhkan manajemen transportasi di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, kutuliskan ini semata agar bandara ini steril dari 'modus-modus kriminal', jelas ini pelanggaran. Jujur, saya merasa terganggu secara kejiwaan, dipaksa-paksa begitu, sambil sodorkan kertas ter-laminating yang di situ tertulis ongkos-ongkos dari zona I sampai zona IV. Penulis tak menyalahkan driver taxi illegal ini, penulis sayangkan sikap-sikap petugas atau yang berkompeten di bandara itu. Tiada mungkin mereka tahu akan operasional taxi illegal ini. Kuyakini mereka tahu!
Makassar, 17 Desember 2015
@m_armand