Adalah Nanik Sudaryati, menenggerkan status di akun Facebook-nya: "Lihatlah, sebelah kiri ada gambar bak sampah dan tukang sampah yg boleh menonton, kalau toh itu tukang sampah bandara, apakah tdk bisa disingkirkan dulu" (Sumber: anehjuga.com). Itulah penggalan kalimatnya. Lalu, Nanik diolok-olok di media sosial dengan bahasa -halus hingga sarkas- mengenaskan! Apakah Nanik keliru atas penilaian tentang bak sampah dan tukang sampah? Oh, tidak! Nanik tidak salah atas perseptual itu. Kesalahan Nanik hanyalah ini: mengkhalayakkan perseptualnya di media sosial! Gambar itu memang sangat mirip dengan bak sampah, keseringan melihat bak sampah yang serupa alat itu, hingga Nanik pun memastikan bahwa itu bak sampah, sedang yang berdiri pakai rompi itu: tukang sampah.
Dan, perkara 'persepsi' itu, sebuah kajian dahsyat dalam psikologi! Hingga akhirnya, persepsi itu tidak pernah salah, menurut pada sesiapa yang punya persepsi. Teoritiknya, persepsi adalah pengamatan terorganisir pada sebuah obyek. Penulis meyakini bahwa Nanik -saat melihat foto di atas- secara otomat, terbentuk persepsinya bahwa gambar yang diberi tanda panah merah itu adalah tukang sampah!
Bahkan penulis dan mungkin juga Anda, akan memiliki persepsi demikian bahwa itu tukang sampah yang turut menyambut Presiden Joko Widodo, saat beliau tiba di Pangkalan Militer Andrews, Amerika Serikat per 25 Oktober 2015. Hanya sayang sekali, Nanik sangat lupa bahwa setiap persepsi tiada pernah utuh. Bisa jadi ketidak-utuhan ini, memaksa Nanik me-remove statusnya itu di media sosial.
Sesungguhnya lagi, Nanik di 'mataku' adalah seorang pengguna media sosial yang cerdas. Tetapi sesungguhnya juga (maaf), kecerdasan Nanik melemah oleh penyebab subyektifitas. Beliau pendukung capres RI, No.1, setahun silam. Dipermulalah di sini, adukan emosional bertalu-talu. Dan, penulis terhenyak membaca sebahagian kecil status ibu cantik ini! Simpulanku: "Bagaimanapun juga, emosional selalu terdepan!"
Lalu, ada apa dengan tukang sampah? Bukankah bandara akan tersasaki sampah jika tiada orang yang memilih pekerjaan semulia tukang sampah? Ini pertanyaan biasa saja, pertanyaan umum dan sederhana sekali. Menjadi rumit, ketika penulis -seumpama- bertanya kepada Ibu Nanik seperti ini: "Pernahkah ibu melihat tukang sampah saat sebuah pesawat baru saja mendarat?". Bila tanya ini terjawab: "Tidak pernah!", maka sangatlah tiada perlu menuliskan status yang meminta tukang sampah itu disingkirkan.
***
Penulis kerap berinteraksi dengan tukang sampah di Bandar Udara Sultan Hasanuddin, Makassar. Obrolanku dengannya, sederhana saja, dan penulis petik-petik ucapannya bahwa: cleaning service, barulah mendekat (sesuai standar operasional) saat pesawat sudah kosong. Ia memunguti sampah-sampah di pesawat, mulai bungkus permen, tissue, peralatan makan, gelas-gelas, dan lainnya.
Dengan fakta ini, jelaslah yang berdiri di depan moncong pesawat kepresidenan itu, bukanlah tukang sampah. Penulis tidak tahu, petugas apa itu! Kabarnya, ia seorang fire-man bandara di Amerika Serikat, sana. Di sisi kirinya, terdapat sebuah alat sophisticated, gunanya untuk sigap memadamkan api kalau-kalau terjadi kebakaran pada pesawat. Andaikan Ibu Nanik tahu bahwa itu petugas pemadam kebakaran, barangkali Ibu Nanik akan tetap kreatif untuk mensinisi Presiden Joko Widodo dengan kalimat yang mungkin seperti ini: "Presiden disambut petugas pemadam kebakaran hutan"
Entahlah!
Dan, maafkan aku atas segalanya!
Terkhusus kepada Ibu Nanik...
Moga-moga ada hikmah yang mampu kusiangi atas semua ini!
-----------
Makassar, 27 Oktober 2015
Salam Kompasiana
@m_armand