Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Seni Mendaur Ulang Berita

8 April 2015   12:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:23 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14285889241075787852

[caption id="attachment_408997" align="aligncenter" width="560" caption="Ilustrasi | thesoundnews.com"][/caption]

Apa salahnya membuat siklus berita? Adakah yang dirugikan? Lah, itu sah dalam dunia tulis-menulis kok. Dunia online membuka peluang itu dengan sangat lebarnya. Di media offline pun, dijumpai perkara serupa, mengulang tema berita dan menganalisnya. Malah penulis banyak bersua berita-berita di koran, bersumber dari media online, bukti bahwa koran kalah gesit ketimbang media online. Memanglah banyak yang perlu dipoles dalam pengulangan berita, khususnya para penulis di Kompasiana, termasuk penulis ini sendiri.

Kita dikepung Berita Dalam Dunia dan diseputari Dunia Dalam Berita. Inilah jaman keemasan, One World. Tak separagraf atau sehalaman beritapun yang terbiarkan begitu saja, kita sudah 'dijebak' oleh riuhnya warta. Kita membacannya, men-share-nya, mendiskusikannya, bahkan menuliskan ulang. Itulah bentuk asli manusia, tak hendak pasif untuk membahasakannya. Maka muncullah ensiklopedi: "Daur Ulang" dengan segala makna positif, dan juga kadang dipandang negatif kecil. Dilihat dari sisi kemubasiran, pun kesulitan memilih topik yang lain. Jangan sangkakan, orang-orang yang gemar memberikan 'penilaian' itu, setia dengan negative thinking-nya. Artikel apapun dan jenis apapun, orang-orang seperti itu memang lekat dengan umpanan-umpanan dislike-nya. Itu apresiasi, versinya!

"Akh, penulis-penulis di T.A. itu, hanyalah kerjaannya comot berita di media arus utama, sana-sini, kemudian diulas-ulas, gak ada yang istimewa", ucapan seorang kawan ini, sudah cukup membuatku geram ringan. Padahal penulis happy membaca artikel-artikel Kompasianer di rerata kolom Trending Article Kompasiana. Ulasan-ulasannya mengena, runcing dan marketable, dus uenak dibaca!

Lalu, penulis selorohkan bahwa itulah seni mengolah berita, walau kita adalah second opinion, sesungguhnya kita turut memperkuat atau sebaliknya menyorot sisi lemah berita itu. Di sanalah terdapat titik keseimbangan, sebab opini itu memang terwujud oleh keseimbangannya, tak memihak dan independentif. Mendaur ulang berita memiliki kecakapan khusus, karena penulis mampu memilah-milah mana yang bermuatan kuat dan yang mana bermuatan lemah.

Untuk mengasah 'kompetensi' dalam mendaur ulang berita, maka seorang penulis yang menjiwai berita-berita mainstream, mestilah memiliki pra-syarat (versi penulis) sebagai berikut:

Bermata Tiga

Ada seorang Kompasianer, penulis tak menyebut namanya, ia memasteri masalah-masalah hukum, artikelnyapun banyak mengupas-tuntas perkara hukum dan undang-undang. Beliau salah seorang penulis yang proporsional, obyektif dan netral dalam menanggapi sebuah berita. Ialah penulis 'bermata tiga', merespon warta dari beragam sudut, beraneka ruang dan berbagai pojok. Tulisan-tulisannya tiada meng-kambinghitam-kan, pun tiada vonis, di sana. Memanglah dibutuhkan kehati-hatian dalam mendaur ulang berita, sebab karakter berita terkini adalah 'cepat panas'. Dibutuhkan ketelitian dalam pembahasan ulangnya karena bisa berpotensi justru kita melakukan blunder, dan bukan meluruskannya ke arah yang tepat. Cepat panas itulah membuat berita-berita aktual, juga lekas redanya.

Kepada sahabat-sahabat yang disiplin menganalisis berita, mestilah memiliki keluasan kornea mata, bermikroskopik, sanggup melihat hal-hal kecil yang tak terlihat oleh orang lain. Itulah hebatnya seorang penulis spesifikasi ulasan berita-berita terkini. Dan, tulisan serupa ini, banyak dicari orang. Kenapa? Karena orang penasaran dan sangat ingin mengetahui apa di balik berita itu? Apa motifnya? Latarnya apa?

Seimbang

Sulit bagi penulis bila membaca sebuah tulisan daur ulang, lalu ulasannya tak memadai, malah penulis menyatroninya sebagai tulisan leading. Penulis ini memaksakan pembaca, bukan menawarkan pendapat. Maka tulisan seperti ini, lebih trend aspek afeksinya ketimbang unsur kognitifnya. Sejogjanya, penulis itu tetap dalam margin keseimbangan. Tidak diwajibkan untuk melakukan pemihakan, atau pembelaan ekstrim. Karena itu bukan opini tetapi sebuah misi dan paling buruk bila disebut tulisan titipan/request.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun