Â
Istriku acap berkeluh kesah, ia teramat khawatir putra-putriku buka-buka internet 'sembarangan'. Ia seolah melaporkan 'kelakuan' anak-anakku yang tutup pintu kamar ketika berselancar di dunia maya yang nota bene unlimited ini. Malahpun, ia mengumpan beberapa sampel anak-anak yang diculik, dilarikan, dan diperkosa oleh pelaku kejahatan dunia maya.
Putra-putriku mewakili pemandangan umum anak-anak Indonesia dalam berinteraksi maya"Â
Terbetik gundah gulana di jaman yang bukan megalitikum ini. Anak-anak kian melata dan tunduk penuh seluruh di hadapan moster raksasa bak internet. Siap memagut putra-putriku kapan dan dimana saja. Sebuah ekspresi sentimentil yang beroma melodramatik. Dan teramat sulit temukan anak-anak di zaman ini yang berperilaku 'tempurung', sebab mereka telah sangat terbuka dan membuka diri dunia luar. Sekawanan informasi siap 'teretet-teretet' dan menyuplai otak dan pikiran-pikiran anak-anakku.
* * *
Riset miniku akan ekspresi anak-ananakku saat berinternet di rumah, wajahnya unggat-anggit saat saya harus melintas di depannya. Notifikasi psikologikku bergumam: "Wah ada yang mengganggu anakku. Yah melintasnya saya sebagai gangguan kecil atas privacy-nya". Pengamatan fisik lainnya, anakku enggan menghadapkan monitor laptop di medan terbuka, ia menghadapkan layar komputer khusus untuknya. So, It not public, including me. Hingga saya berkesimpulan kuat bahwa 'tugas tambahan' sebagai ayah wajib kutunaikan. Tak etis lagi jika hanya menyandarkan pengawasan kepada sosok wanita yang telah melahirkan mereka dari rahimnya, istriku.
Amuk-amukan juga batinku saat Kompasiana 'menugaskan' ibu untuk melirik, mengintip, mengawasi sekaligus mengamankan, menjaga, dan mendampingi anak-anak berdumay. Saya disodori pesan bahwa seolah jika baik-buruknya anak-anak adalah tanggungjawab full seorang ibu. Seakan peranku sebagai ayah absurd dan dilecehkan sekaligus membebas-tugaskan saya sebagai ayah dalam mengelola perilaku anak-anakku dalam bercumbu dengan candu dunia maya.
Tiada alasan lagi untuk menyembunyikan uniformitas bahwa ibu yang diserahkan segala-segalanya untuk pembentukan perilaku anak dalam berinternet. Sayalah sebagai ayah dan sebagai seorang suami yang wajib mendampingi istri dan anak-anakku. Sebab jika anak-anak ini terseok-seok akan efek dunia maya, maka terseok pulalah rumah tanggaku. Dan lebih timpang lagi jika urusan ini kuserahkan sepenuhnya kepada ibu dari anak-anakku. Jika tanda-tanda keruntuhan moralitas itu terjadi akibat kealpaanku, maka inilah yang kunamai Timpangnya Rumah Tanggaku, sebab suami-istri, ayah dan ibu, keduanya berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dalam urusan pertumbuhan etika anak-anak. Tiada elok lagi menyalahkan istri jika anak-anak berperilaku devian, sayalah yang paling bertanggung jawab atas tumbuh-kembang psikis mereka. Sebab Saya Ayah Mereka***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H