Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Rasisnya Jaya Suprana

1 April 2015   13:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:41 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1427864974794133552

[caption id="attachment_407011" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber primer: Sinar Harapan"][/caption]

Telah bersasak warta akan perseteruan baru, antara Ahok dan Jaya Suprana. Penulis teramat prihatin atas kejadian yang tak perlu terjadi ini. Penulis membela Ahok dalam 'perkara' ini. Dan, aku bilang Jaya Suprana blunder!!!! Menambah-nambah masalah di balik maksud baiknya kepada Gubernur DKI Jakarta itu. Seksamai penggalan tulisannya di Sinar Harapan (Rabu, 25 Maret 2015) berikut ini:

"Bukan rahasia lagi, bahkan fakta sejarah, bahwa telah berulang kali terjadi malapetaka huru-hara rasialis di persada Nusantara. Akibat memang beberapa insan keturunan Tionghoa bersikap dan berperilaku layak dibenci maka beberapa titik nila merusak susu sebelanga. Akibat beberapa insan keturunan Tionghoa bersikap dan berperilaku layak dibenci maka seluruh warga keturunan Tionghoa di Indonesia dipukul-rata untuk dianggap layak dibenci" (Jaya Suprana).

Itu penilaianku, humor Jaya Suprana merosot drastis, itu kesanku usai membaca tulisan 'curhatnya' ke Basuki Cahaya Purnama, di atas. Ada apa gerangan hingga 'suhu' ini begitu sentimentil dan mendayu-dayu perasaannya, hingga ia seolah-olah bersimpuh di depan Ahok, memohon ampun kepada 'Paduka Ahok". Tujuannya hanya satu: "Demi keamanan warga keturunan Tionghoa-Indonesia". Sesungguhnya -bila boleh kuberkata- ini aroma rasisme yang justru diledakkan halus oleh seorang Jaya Suprana, sendirian. Blunder!!!

Tiba-tiba selera humor Jaya Suprana, raib. Ia nasehati Ahok agar menjaga tutur katanya, tiada yang aneh dengan saran Jaya Suprana ini. Penulis buku "Komedi 2000'" -yang sempat penulis tamatkan- ini, terasa aneh saja ketika di "Surat Terbuka kepada Ahok' itu, mengungkit-ungkit soal derita Etnik Tionghoa, di masa silam. Penulis soroti ringan Sang Punggawa MuRI ini, kenapa abai dari kebiasaan berhumor ria dalam menyampaikan pesan-pesan moral kepada Ahok? Ada apa dengan beliau ini? Anti klimakskah dalam meneaterkan humor-humor yang membuat penulis terpingkal-pingkal membaca serial buku komedinya?

Bukankah seluruh etnik di Indonesia ini pernah merasakan getirnya derita, dijajah fisik, psikis, sosial dan ekonominya oleh bangsa Eropa. Lalu, siapalah yang membenci Tionghoa? Apa 'labanya' membenci Tionghoa?sedang mereka juga saudara-saudara Indonesiaku. Membenci atau tak menyukai sekaligus atur jarak dengan warga keturunan justru itu kusebut lebay.

Jaya Suprana sadar melakukan itu, sekaligus setengah sadar akan efek samping yang ditimbulkan oleh 'resep' yang ditawarkan kepada Ahok. Memohon kepada Ahok untun santun, itu juga harapan semua orang, seluruh rakyat Jakarta dan juga Indonesia kita ini. Namun, menggesek-gesek Ahok ke bilik etnik, jelas itu mengadili Ahok. Jangan sangkakan bahwa Ahok diamanahkan menjadi Gubernur Jakarta, karena 'kapasitas' etniknya. Lantas, mengapa Jaya Suprana 'menyuruh halus' Ahok agar tuturannya dijaga karena membahayakan etnik tertentu. Betapa sulitnya sel-sel otakku menerima keluhan Jaya Suprana ini.

Mengapa pada masa-masa bulan madu pembauran di antara kita, justru tercuat bahasa-bahasa se-mencekam ini. Dipublikasi pula di media, barangkali juga media turut lalai atas peristiwa yang ringan tetapi fatal ini. Oh iya, anggap saja tulisan ini sebagai "Surat Terbuka' kepada Bapak Jaya Suprana. Berharap agar jangan lagi ada etnik merasa minoritas di negeri ini. Kenapa? Karena bahasa minoritas ini, bahasa sensitif, bahasa penderitaan dan bahasa ketertindasan. Padahal, mayoritas-minoritas itu, tak jaman lagi dikotak-kotakkan di era 'Indonesia Berjuang' ini.

Penulis tetaplah hormat pada seorang humoris kesohor di negeri ini, sekelas Jaya Suprana itu. Hanya dia yang bisa 'mengimbangi' kekocakan cerdas ala Abdurahman Wahid. Sayang sekali, kali ini tak kunikmati humor Jaya Suprana dalam menelaah problematika sosial budaya di Jakarta. Sungguh kuingat ruas-ruas humor milik Jaya Suprana. Ia tak setuju dengan semboyan: "Jakarta Bebas Becak".

"Lah Anda ini bagaimana, melarang becak beredar di Jakarta tapi kok bilang Jakarta Bebas Becak. Ya, pantaslah becak-becak itu masih banyak di sini, wong namanya bebas kok", ujar Jaya Suprana cerdas dan buatku terkekeh-kekeh^^^

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun