Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Putra Presiden Konsumsi Babi

24 November 2014   16:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:00 16063
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14167954461909261155

HAL serupa nyaris saya alami di Hong Kong, sebuah rumah makan bermenu babi, tak dilabeli pada wadah berisi daging babi. Telah kuletakkan di piringku, dan ternyata itu babi, saya ditegur seorang ibu, asal kota Bandung: "Pak, itu babi, baru saja dilabeli sama pelayan". Sang Khalik masihlah menolongku, walau waktu itu, saya pucat pasih dan gontai di kursi. Ini manusiawi sebagai pemeluk agama sepertiku. Ajaran agamaku mengharamkan mengkonsumsi babi kecuali dalam sikon sangat darurat, super emergency (akan mati jika tak mengkonsumsinya). Dan, hebohlah di media sosial, putra Presiden Joko Widodo, dialah Kaesang Pangarep telah menkonsusmi daging babi, di Singapura. Diplentirlah beragam komentar sinis, seolah 'anak itu' mengolok-olok daging kambing dan membesar-besarkan kelezatan daging babi. Tiada yang aneh dari pernyataan Kaesang Pangarep, tampilan daging babi memang lezat, keliatan empuk. Lalu, saya teringat akan lirik lagu: mengapa semua yang enak-enak itu diharamkan? Mengapa semua yang asyik-asyik, itu diharamkan. Ah,... itulah perangkap syaitan, umpannya ialah bermacam-macam.

Kawan Kompasianaku, saya terlahir untuk menuliskan perkara-perkara sosial budaya, hingga saya turut peduli untuk menuliskannya bahwa umat Islam tanpa kecuali sadar 100% pengharaman daging babi untuk dikonsumsi, telah 14 abad, dipahami. Dan -menurutku- tidak mengkonsusmi babi, tidaklah bermakna bahwa umat Islam lebih baik dari ajaran lainnya. Janganlah sebab-musabab persoalan konsumsi babi hingga merendah-rendahkan pemeluk agama lain. Islam 'hanyalah' beralasan dari sisi estetika bahwa hewan babilah yang terburuk wajahnya di jutaan hewan lainnya, dari sisi medis juga membuktikan bahwa dalam usus babi terkandung bakteri-bakteri yang tak baik untuk kesehatan manusia. Jangan pula, pemeluk agama lain, merendah-rendahkan Kaesang akibat secara tak sengaja, tanpa sepengetahuan menkonsumsi daging babi. Ia khilaf, dan ia sendiri sudah bertobat, bersusah payah cari masjid untuk 'bertobat'.

Lalu, pernah kutanyakan pada ustad, bagaimana kalau bakteri-bakteri itu bisa dimusnahkan sebelum dikonsumsi? Ustad, malah tersenyum-senyum pertanda bahwa apapun caranya, daging babi tetaplah haram bagi Umat Islam.

Babi dan Politik

Indonesia yang unik, memiliki khas -yang apa saja bisa dikaitkan dengan politik- untuk tak bisa diam akan masalah-masalah sosiologis, soal kemasyarakatan dan soal agama. Hingga seorang peneliti budaya menyebutkan: Tiga hal yang paling ramai didiskusikan orang Indonesia: "Politik, agama dan seks". Dan perkara konsumsi babi bertalian dengan keyakinan/agama.Yang menarik buatku kisah fenomenal Tsung Wan Hok, Basuki Tjahaja Purnama, Sang Gubernur DKI Jakarta yang beragama Nasrani. Beberapa kalangan umat Islam, mengklaim bahwa Ahok itu Islami. Saya menolak anggapan itu, bahwa Ahok berperilaku baik, jujur dan amanah, tentu beliau terinspirasi dari keyakinannya sebagai pemeluk Nasrani sejati. Bila terjadi kesamaan ajaran-ajaran kebaikan antara Nasrani dan Islam, itu sangat wajar, naturalistik. Sebab keduanya 'agama langit', disebut dalam Islam: agama wahyu. Dan Anda tahu itu!

Mengapa?

Entahlah, apa sebab-musababnya hingga soal agama ini, selalu rentan menjadi akar dehumanisasi, menjadi titik lemah ummat manusia, setahuku agama itu pro sosial, cinta mencintai, kasih mengasihi, ingat mengingatkan. Akh.... bisa jadi teknik mengartikulasi agama kita masing-masing yang melenceng dari prinsip-prinsip, boleh jadi latar beribadah kita kelewat sempit, memaknai ibadah hanya di masjid, gereja dan pura. Sedang mendamaikan tetangga, teman, tidak digolongkan sebuah ibadah. Bahwa menunda komentar buruk pada ajaran agama lain, bukankah itu ibadah? Malahpun, menulis di Kompasiana terpatri ibadah, selama tiada aroma riya' dan bersombong-sombongan, Insya Allah Tuhan merekengnya sebagai ibadah. Bisa jadi kita menghuni surga kelak karena menulis di Kompasiana, beserta ibadah-ibadah lainnya. Wallahu a'lam bissawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun