"Pak. Bos saya maunya duduk di sini", ucap seorang pengawal. Saya hanya diam dan memandangnya dengan sinis. Terasa, semalam adalah malam yang gaduh buat hidup saya. Betapa memiriskannya kelakuan kaum jestset yang ingin mengekspansi dan menjajah saya sebagai salah seorang warga negara Indonesia yang berhak dan berkedudukan yang sama di hadapan EURO 2012. Saya telah reservasi tempat tiga hari sebelumnya, mengambil posisi tengah agar dapat leluasa menonton EURO 2012 (Italia vs Kroasia, Spanyol vs Irlandia).
Nasib lagi apes, rupanya meja saya diincar oleh seorang pengusaha kaya raya di daerah saya. Lima pengawal mendatangi saya, awalnya sopan tetapi tawarannya untuk memindahkan saya ke kursi lain saya tolak dengan halus juga. Kelima pengawal itu menunjukkan wajah yang mulai geram dan seolah ingin menonjok muka saya. Saya tak bergeming, saya tetap menonton review EURO, sesekali memandang ke arah pengawal berbadan tegap dan sigap itu disertai baju seragam hitam.
"Kau ini tidak kenal Bos saya", ketus seorang pengawal. Ia mulai menunjukkan gelagat yang tak baik. "Maaf Pak. Saya ke sini untuk nonton bola, bukan mau nonton penonton. Bukan juga mau mengenal siapa Bos Anda". Rupanya ucapan saya ini membuat pengawal memukul meja sambil pergi. Ia di puncak kemarahan, saya hanya tersenyum. Saya ingat pesan 'guru' saya, jangan emosi menghadapi orang yang sedang emosi. Pesan guru saya ini masih jitu. Buktinya, tak ada keributan apa-apa. Andai saya emosi juga, mungkin seisi aula hotel itu pun gaduh.
Seorang pengawal lagi tinggal sendiri, berucap lembut kepada saya: "Daeng, minta maafka Daeng. Sekali inimi saja saya minta tolong. Bos saya ingin sekali duduk di sini. Kusiapkanmi tempat untuk kita di sana. Strategis di sana Daeng" (Kak, saya minta maaf-Sekali ini saja saya minta tolong-Saya sudah siapkan tempat untuk Anda di sana-Strategis di sana Kak).
Saya dengan sigap menjawab atas ucapan pengawal yang bercelah ini: "Kita bilang strategis di sana, di sanami kita kasi duduk Bos-ta, kan strategis". Jawaban saya ini tak membuat sang pengawal mati akal, ia lalu membujuk lagi: "Enak di sana Daeng, bisa disorot kamera dan masuk televisi". Ucapan sang pengawal ini saya beli kontan dengan sebuah pukulan meja. Beratus pasang mata memandang ke arahku, saya terlanjur marah. Saya katakan dengan suara melengking: "Hae, saya ke sini bukan untuk masuk televisi. Saya ke sini untuk menonton". Pengawal lainpun tiba di tempat saya, I don't care. Luapan kemarahanku ini mesti tumpah: "Kalau Bosmu yang kaya raya itu menyuruhmu dengan cara sekasar ini. Kasi tau Bosmu, ia banyak uang tapi miskin hati. Terlalu angkuh, sombong. Sebetulnya Bosmu itu orang miskin, papah perasaan".
* * *
Pengawal itu, meninggalkanku satu per satu. Di kejauhan, saya saksikan mereka berdiskusi dengan Bosnya, sepertinya mereka memutuskan untuk batal NOBAR. Sebuah biaya sosial yang mereka harus tanggung atas sebuah kesewenang-wenangan, keteledoran, keangkuhan dan ketinggihatian dan pengabdi harta. Artikel ini bukanlah sembarang artikel, sebuah empirik yang memberi pelajaran kepada saya dan juga (mungkin) kepada sahabat Kompasianer bahwa: 1. Tak semua dapat dibeli dengan uang. 2. Tiada kekuasaan yang abadi. 3. Tiada kesewenang-wenangan yang permanen. 4. Keangkuhan selalu menghadirkan kesusahan di kemudian hari. Dan selanjutnya, kaum jetset itu sangat terlambat memahami arti sebuah kekayaan, sebab salah satu fungsi kekayaan adalah memuliakan diri sendiri dan memuliakan orang lain.
* * *
Camkamlah untaian kalimat indah ini: "Dimana ketinggian hati berakhir, di sanalah kemuliaan dimulai...!".
Layak direnungkan sobat.
Salam EURO 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H