Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengikis Ego Seorang Ayah

11 Januari 2015   21:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:21 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14209594411175368894

[caption id="attachment_390066" align="aligncenter" width="300" caption="district.blogspot.com"][/caption]

"JANGAN ganggu papa, papa lagi sibuk sekali", inilah kalimat mematikan. Seorang anak yang mendengar ini, tertancap kokoh di otak kecilnya, tiada akan lenyap-lenyap dari otaknya. Ini sebuah pertunjukan yang disadari oleh para ayah, sekaligus tak disadari bahwa itu amatlah buruk pada pertumbuhan jiwa sang anak. Anak butuh dua nutrisi; fisik dan emosional. Janganlah kelewat bangga atas pertumbuhan emas fisiknya, sedang rohaninya pertumbuhan 'perunggu' pun tak diperolehnya.

Penciptaan jarak

Artikulasi dan sikap seorang ayah, menjadi referentor anak-anak. Kembali saya nisbahkan bahwa sejatinya seorang ayah bila memiliki tiga kategori: ayah biologis, ayah sosiologis dan ayah psikologis. Tiada jarang, seorang ayah yang bukan biologis, tetapi ia begitu hebat menjadi ayah psikologis. Ini kerap terjadi, di seputar kita, di atmosfir keluarga. Pulalah, begitu banyak ayah yang gagal menjadi 'ayah'. Semua karena stimulan yang diumpankan ke anaknya berformat negatif, memiskinkan jiwa sang anak hingga terorbit seorang anak, sekonyong-konyong merasa tak memiliki ayah. Seolah tak berbapak.

***

Sebuah kisah menarik, saya kontribusikan kepada pembaca. Seorang anak, membeli gula pasir, di perjalanan gula itu jatuh, plastiknya bocor. Anak itu membawa gula pasir, sisa setengah, ke rumahnya. Anak itu hendak melintas di depan ayahnya, dia ketakutan. Ayahnya memanggil ringan sambil tersenyum. "Minta maafkan papa, plastikna bocor", adu anak itu dalam dialek Makassar. Ayah memeluk anak itu dan berkata: "Plastiknya yang salah Nak, kenapa dak kuat". Anak cantik itu tersenyum.

Pilihan tindakan ayah itu, sungguhlah cerdas. Begitu edukatif...! Padahal ayah itu bisa saja memilih untuk marah-kesal-ketus, pun bisa disebut edukasi. Mem-vonis atas keteledoran putrinya, namun ayah itu tak melakukannya, karena ia sangatlah mengerti bahwa tiada manfaat menghakimi anak kandung sendiri dalam posisi salah, toh gula pasir sudah tumpah. Mosok perasaan anak juga harus 'tumpah' tak karuan?

Besar-Kecil

Seorang ayah yang tanggalkan egonya, membiasakan hal 'kecil' menjadi 'besar'. Saat mendekap anaknya, ayah selalu aktif berkata: "Hemmm, ini anak  cantikku, anak rajinku, anak salehaku, anak baik hatiku". Betapa lezatnya kalimat itu di batin sang anak, alangkah termotivasinya anak itu untuk berbuat baik, berperilaku indah sekalipun ia masihlah anak-anak yang punya trade mark: nakal. Esensinya, ucapan-ucapan humanistik itu, telah berdentang di bilik hati sang anak. Itu modal, itu aset, itu pot emosional. Sisa dimekarkan bunga-bunga jiwanya, membesar dan kuat akar-ranting-batangnya-dedaunnya.

Lalu apa pula yag kumaksudkan 'mengecilkan' yang besar. Pahamilah, bahwa anak-anak itu memang 'hulu' persoalan, mereka aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang tak populer, semisal mengotori lantai rumah, memetik-metik kembang di taman atau menjungkir-balikkan kursi dan meja. Itu bukanlah masalah serius, toh semua itu milik kita. Yang diperlakukan dengan rupa-rupa aksi itu, bukan milik tetangga kok.

Kompasianis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun