Amatan penulis, media sosial telah bergeser jauh dan melompat tinggi. minim kendali. Maka, muncullah anggapanku bahwa fakta Anti Sosial itu telah tiba di peluput mataku. Kenyataan peradaban baru itu, juga telah datang dan bergelombang. Penulis pun kerap tercenung akan gejala-gejala sosial budaya yang 'mematikan' ini. Melumpuhkan sendi-sendi keramahan, memperlayu tata krama, Nampaknya, hadir ketaksiapan mental di sana dalam menggunakan media sosial. Rupanya lagi, terpental nuangsa psikologik yang belum harmoni di sana, di antara kita. Media sosial begitu garing dan sangar dalam menuangkan perasaan marah, kesal, kecewa dan berteriak-teriak. Lalu apa motif di balik semua ini? Apa yang melatarbelakangi atas segala ini? Dasar kebenciankan? Dendam? Iri? Ataukah motif psikologik miring, lainnya.
Penulis begitu hati-hati menurunkan artikel ini karena bisa saja tulisan ini dianggap mengebiri para pengguna media sosial. Betapa penggunaan media sosial yang luasnya tak berujung itu, adalah hak setiap orang untuk berkata apa saja sesuai yang diinginkannya. Namun, tak sabaran juga penulis menuliskannya, usai dua bulanan mengamati perilaku pengguna media sosial. Barangkali pencipta media sosial tak pernah membayangkan kalau ciptaannya itu digunakan oleh orang-orang dan menuliskan status seperti ini: pendusta-pembohong, penipu, pelacur, durhaka, kualat, semoga cepat mati, akan kutampar bila bertemu, akan kuracuni, kampret, goblok, pecundang, munafik dan sekumpulan 'kata-kata mutiara' lainnya.
Agama baru
Inilah 'agama' baru, media sosial namanya, pemeluknya milyaran. Bila agama kadang-kadang menjadi 'gama', maka media sosial juga akrab dengan Anti Sosial. Bukankah menulis status di media sosial dengan sederet kata seperti pembohong-pendusta, munafik, binatang, keparat, pelacur dan sebagainya sebagai sekerumunan kata-kata yang anti sosial? Buat penulis, amatlah menarik untuk dituliskan di Kompasiana, dan penulis bentangkan di rubrik Sosial-Budaya, bukan di kanal Media. Kenapa? Karena anggapan penulis, ini gejala sosial budaya, spesifikasi pola bertutur dan cara mengartikulasi kata-kata lewat media. Media hanyalah fasilitator, dan media netral. Status apa dan bagaimana kontennya, media setia melayani.
Dalam satu jam membuka media sosial, teramat mudah menjumpai status-status anti sosial. Agendanya seperti terencana, mengumpan-umpan kail permusuhan, menggali potensi ketaksukaan bahkan membuka front kebencian dan penghancuran martabat sesama manusia. Penulispun kadang menuliskan status yang anti sosial ini, namun penulis lekas-lekas menyadarinya bahwa status buruk itu, tiadalah baik-baiknya. Ini refleksi dari kepribadian seseorang atau pengguna akun (asli/palsu). Jadi bukan dipersoalkan pada keaslian atau kepalsuan akun tetapi muatan status itu bergenre kontra sosial.
Masih layakkah?
Masih bisakah media sosial itu disebut sebagai “Media Sosial?’. Pengamatanku, media sosial tak dapat dimutlakkan sebagai “Media Sosial’ lagi, untuk saat ini. Alasan pokoknya; karena media sosial telah dijadikan allternatif untuk mengumpat, mencela, mengasari, menghina, dan seterusnya. Barisan status serupa ini -pendusta, penipu, pelacur, etc- penulis menilainya sebagai jumputan kalimat yang “Anti Sosial”. Sebuah lompatan sosial budaya baru yang penulis tiada pernah memprediksinya. Penulis sudah ‘kamuskan’ pilihan kata-kata/kalimat yang ‘mencengangkan’ sekaligus menuju pada dekadensi peradaban. Media sosial telah memintarkan pengguananya dalam ‘komplek kognitif’ namun telah terjadi pula lempengan-lempengan dalam ‘perkampungan afeksi’. Maksud penulis, telah sulit dijumpai manusia yang tak didampaki kepintarannya, keluasan wawasan oleh pola bagi-bagi informasi dan peristiwa politik, ekonomi, humaniora, sains dan kebahasaan. Efek lainnya itu, terjadi penurunan kualitas dalam bertutur.
[caption id="attachment_408258" align="aligncenter" width="300" caption="www.deviantart.com"][/caption]
Bukankah ruang lingkup dan batasan “Sosial” itu adalah interaksi humanistik (kemanusiaan) sebagai takdir atas gelar makhluk sosial yang saling mengayomi, saling membutuhkan, dan saling cinta sesama? Entahlah! Penulis tak mampu memastikannya bahwa ucapan-ucapan sarkastik itu masih tergolong ucapan sosial. Sewajarnya, manusia bersosial media, pun berkiblat pada etika sosial. Itu pemahaman dasarku.
Lalu apa dan bagaimana?
Penulispun kerap lepas kendali dalam menulis status di media sosial, penulis lalu membalikkan badan dan berkata dalam batin: "Status ini tak layak publikasi karena menjatuhkan orang lain!". Maka, pelan-pelan penulis belajar menulis status yang netral dan normal, tak ingin status itu berakibat fatal kepada munculnya benih-benih peperangan, Maka tiada terhitung alangkah banyak dosa yang telah kuperbuat akibat penulis bertindak ceroboh dan penulis sebagai pemicu akan reaksi negatif orang lain. Penulis memaknai bahwa hakikat media sosial untuk sebuah perubahan perilaku lebih baik, taat pada marka-marka sosial, patuh pada aturan-aturan kemasyarakatan dan tunduk pada sifat bawaan dasar manusia yang tiada seorangpun rela dihina, sekalipun orang itu memang terhina, seumpama.