ASAKU kepada sobat Admin Kompasiana bahwa setelah mengurai artikel edukasi ini, Admin jumpai satu perkara akademik yang 'abnormal', pun penulis berharap sekaum dosen penguji pada area sidang-sidang skripsi (Strata 1), bernawaitulah untuk belajar dan mempertinggi latihan menguji demi profesionalisme dan keilmiahan. Pulalah, demi obyektifitas sebuah gelaran academic behavior di nuansa perguruan tinggi. Bukan kenapa-kenapa, jangan sampai kita meluluskan mahasiswa (i) yang memang tak bersyarat untuk diluluskan, atau yang lebih tragis lagi; jangan sampai lalai, tidak meluluskan mereka walau dengan sepenuh syarat akademik, mereka sangat berhak diluluskan. Percayalah bahwa apa yang kita lakukan itu adalah bauran dosa, menghambat laju karier seseorang, menodai masa depan anak manusia dan melecehkan pengorbanan material orangtua mereka, sekaligus melencengkan nilai-nilai humanis edukatif atas gigihnya peserta didik berjuang untuk dirinya dan juga terterpa atas dedikasi kepada ayah-ibunya yang telah menghadiahkan perhatian dan kasih sayang yang maha akbar demi si buah hati, si putra atau si putri.
Kasus
Tanggal 2 Juni 2014, mahasiswi bernama Dimi Cindyasari, Jurusan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas 'Sultan' Hasanuddin, Makassar. Mahasiswa manis itu nyaris gagal menyabet gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat. tema risetnya (peneliti pemula): Musculoskeletal disorders pada pekerja paving block di Makassar. Musculoskeletal disorders berkisah seputar otot-otot, ligamen, leher, tulang belakang, saraf dan seterusnya. Tema riset ini dihubungkan dengan aktifitas pekerja di sebuah perusahaan paving block di kawasan Sudiang, Makassar.
Dari 5 (lima) dosen penguji, 2 (dua) di antaranya memberikan nilai rendah. Rekapitulasi dan rerata, menunjukkan garis di bawah standard kelulusan ideal (Catatan: range 85-100 nilai lulus) atau bisa ditebak mahasiswa bakal lulus dengan nilai C (dua). Dapat ditebak bahwa mahasiswi tersebut berada di bawah poin 85 (delapan puluh lima). Keputusan hasil akhir sidang skripsi itu segera disampaikan di hadapan kandidat dan para dosen penguji. Perihal pemberian nilai oleh dosen penguji, itu adalah hak prerogatif. Dilarang keras dosen penguji lainnya mencampurinya karena ini titik-titik ilmiah. Ketidak lulusan itu sisa dieksekusi, tinggal beberapa menitan.
Biang Kompasianer Makassar
Gusar batin Si Armand ini, yang juga seorang Kompasianer, domisili Makassar, hidup-matinya di Universitas Sultan Hasanuddin, Makassar. Dan mahasiswi itu berpotensi untuk 'ditendang' dan sidang ulang sepekan mendatang. Dengar reseknya, dan 'menyalahi norma', penulis bertanya ringan: "Di bagian manakah sehingga mahasiswi ini harus ujian ulang?
Pertanyaan serupa placebo ini, hanyalah trik untuk menunda eksekusi ketidaklulusan mahasiswi itu. Penulis mengikuti sidang skripsi itu sepenuhnya, penulis paham dan menguasai kronologis proses tanya-jawab: Dosen penguji Vs Mahasiswi itu. Rekan se pengujianku, cukup kooperatif dan tak merasa kudikte. Sebab di ajang sidang skripsi, dosen penguji wajib cerdik dalam membaca situasi psikologik kandidat, iklim kejiwaan calon sarjana yang diterpa ketegangan tinggi.
Dugaanku tak salah bahwa dosen yang memberi nilai rendah itu disebabkan sebuah pertanyaan mendasar yang tak sanggup dijawab oleh kandidat. Tak ada yang salah dengan pertanyaan rekanku itu, jenis pertanyaannyapun di tingkat C1 dan C2 (baca: taksonomi pengetahuan). Pertanyaan sangat mudah memang bagi ukuran mahasiswa di akhir studi. Penulis 'merekam' pertanyaan teman sejawatku itu: Sebutkan empat faktor yang bisa membuat orang sakit?
Saat pertanyaan ini terlontar, sang mahasiswa pucat, ada kesan bahwa di luar prediksinya, pertanyaan 'sekonyol' ini muncul. Jelas, konyol sebab ini pertanyaan non-nalar, non-logika. Ini pertanyaan Ujian Akhir Semester, itupun di semester-semester awal, karena karakter pertanyaan ini adalah hafalan murni. Bukan mahasiswinya yang tak mampu menjawab tetapi pertanyaannyalah yang kurang manusiawi. Ini namanya mendikte kandidat dengan menghadirkan pertanyaan non-andragogik.
Pertanyaan atau pengujian serupa itu, sungguhlah 'biadab dan sadistis'. Ada kemarhan di hatiku, ada kesal di sana. Dengan kesungguhan dan keseriusan serta demi panji-panji akademik, penulis usulkan agar sidang dilanjutkan dan memungut pertanyaan-pertanyaan yang tak dijawab oleh mahasiswi itu. Tiada perdebatan berarti kecuali penulis hanya memohon kepada rekan penguji (yang memberi nilai rendah) untuk menyederhanakan pertanyaannya, merevisi jenis pertanyaannya. Kongkritnya, dosen itulah yang wajib menyebut lebih dahulu, faktor apa saja yang bisa membuat sakit, faktor apa saja penyakit itu muncul dan determinan apa yang membuat orang bisa terpapar penyakit dan seterusnya.
Akhir yang manis