[caption caption="Melihat Ini, Kuingin Hidup 1000 Tahun Lagi"][/caption]Sewajar manusia bila melihat 'industri kemarahan', manusiawilah bila kupedih! Inginku.... melihat semua itu adalah SATU-UTUH-TAK TERBERAI. Lalu, sebutir inginku itu, apalah tenaganya menjinakkan gempuran kecewa-kesal-marah secara spartan di pelbagai bongkahan amukan dengan teknik yang beragam pula.
Satu tatakan penilaianku bahwa segala ini adalah kurang baik diperlebar sana-sini. Lalu, kutobat dan sesadar-sadarnya bahwa artikel serupa apapun itu, tak menjadikannya api itu mereda. Ini sikon psikologik di titik nadir, di ujung tahun dua ribu lima belas, di media kita ini. Rasa-rasanya, halaman Kompasiana tak lagi luas untuk berkisah-kisah tentang kedamaian dan cinta. Iki cenenge: susah dibawa susah!
Harap lainku, enggan-engganlah untuk menyalahkan sesiapa. Sebab, kita di sini; sama benarnya, pula sama salahnya. Efek kultural kita, sedari dulu memang beginilah. Kita masih loyal-royal pada mudahnya memprovoasi dan juga terprovokasi, termasuk penulis dari Makassar Sulawesi Selatan ini.
Ya, kita lekat dengan bangsa pemaaf, pun tak mau berlari dari bangsa kerap dititeli sebagai bangsa pemarah. Walau di dunia ini, seluruh bangsa bertabiat pemarah. Hanya Indonesialah yang memiliki durasi kemarahan melebihi bangsa lainnya. Lalu, apa pantasnya penulis menawar-nawar peri baik, sedang penulis pun terseret-seret di dalam pusaran ini. Wajar dong, penulis berada di dalam! Karena penulis bukan orang luar.
Firasatku saja, 'orang luar', ada yang sedang menyayangkan ini, atau barangkali -malah sebaliknya- sedang riuh-riuh tepuk tangan akan kisruh ini. Itu alamiah! Yang kucemaskan bila ada 'orang dalam' justru kegirangan melihat nyaris putusnya nuansa-nuansa silaturahmi di areal Kompasiana. Kuajak hatiku berdialog, dan kuyakini, itu tiada. Kompasianer, koleksi orang-orang beradab-baik-cerdas!
Tetapi kusadar lagi, rupa Kompasiana memang seperti inilah originalnya. Akrab dengan sisi 'terang dan gelapnya'. Kucumalah bingung, saat-saat 'bulan madu' di ajang Kompasianival 2015. Tersendat-sendat oleh kekurangpuasan oleh warganya dhewe. Hemmm, itu amatlah normal.
Kata Kyaiku:
Tiada langit tak berawan
Tiada tanah tak berbatu
Tiada laut tak bergelombang
Tiada pesta tak tercerita
***
Analogi ke pasar
Pesta itu konon bisa dianalogikan seperti ini. Seorang yang sedang diberi amanah, membeli rupa-rupa rempah-rempah, untuk sebuah acara pernikahan di kampung. Secermat apapun orang itu, ada-ada sajalah yang ia lupa beli...ya mericalah, lengkuaslah atau mungkin tomat. Kenapa demikian? Jawab sederhananya: Karena orang tersebut sedang menjalankan amanah berat. Takutnya kalau-kalau ada rempah yang terlupa terbeli. Karena amanah yang 'menegangkan' itulah, hingga adalah yang tertinggal untuk dibeli. Bisa jadi terbeli semua, tetapi sedang di jalanan, plastik gulanya malah bocor. Sengaja atau tak sengajakah dia? Oh bukan itu pertanyaannya! Pastinya orang itu, pun sangat tak menghendaki adanya 'kecelakaan' seperti itu, bukan?
Lalu, setibalah Admin 'dibabakbeluri', dan firasatku aktif lagi bahwa seorang Isjet, tak serapuh itu mentalnya dalam menyanggah 'dirinya'. Oooops sorry, penulis tak sedang berguarau. Penulis mengenal Isjet, cermat mengatur ritme, tak mudah reaktif. Sebetulnya, style Isjet mirip-mirip sayalah! ha ha ha