[caption id="attachment_322072" align="aligncenter" width="300" caption="fajar.co.id"][/caption]
TIADA yang super heboh di sejumlah Perguruan Tiggi Negeri (PTN) saat ini, kecuali polemik proses pemilihan rektor di sejumlah PTN. Adalah permendikbud No.33, Tahun 2012 tentang jatah suara kemedikbud sebesar 35%, telah mencuatkan frustrasi bagi kalangan senator universitas. Akademisi telah sangat merasa digrogoti dalam setiap ajang pemilihan rektor oleh intervensi kemendikbud, wajar saja jika sejumlah guru besar segera ajukan uji materi atas peraturan tersebut. dan menunjuk pengacara gugatan terhadap permendikbud itu. Maaf, bukan gugatan terhadap rektor terpilih. Sebab rektor terpilih juga dilemmatis, menolak suara melimpah dari kemendikbud, juga merupakan 'pembangkangan', sebaliknya mengamini sedekah suara dari kemendikbud, toh tergamit cibiran.
Yang ironis, peraturan menteri tersebut mengacu kepada BHPTN (Badan Hukum Perguruan Tinggi Negeri) yang telah jelas dianulir oleh Mahkamah Konstitusi. Hakikatnya: Permendikbud itu batal demi hukum, lalu mengapa permendikbud yang bernomor 24 itu masih aktif?
Di Universitas Hasanuddin sendiri, mendikbud telah 'memenangkan' Prof.Dwia Aris Tina Pulubuhu yang secara agregat voting rapat tertutup senat universitas, beliau kalah suara dari Dr.dr.A.Wardihan Sinrang. Namun, azimat sakti donasi suara 35% dari mendikbud, maka tersulaplah Dwia Aris Tina sebagai rektor terpilih Universitas Hasanuddin 2014-2018. Dwia 'terpaksa' melesat tinggi suaranya setelah ditambaahkan mendikbud -diwakilkan kepada Direktur Kelembagaan- menjadi 241 suara (plus 35% suara mendikbud), mengungguli suara murni Wardihan (128) dan Prof.Irawan (71 suara). Dan kubu yang unggul suara secara real-Wardihan Sinrang- harus tertunduk di hadapan permendikbud yang nyeleneh itu. Penulis tak hendak berpolemik ekstrim di Kompasiana. Penulis mencoba membedah apa sesungguhnya di balik lahirnya permendikbud yang super kontraversial itu?
Apa motifnya?
Ini sungguh perbincangan yang sedang HOT di sejumlah PTN, termasuk ITS. Di ITS ini. mendikbud 'suskes' mengkanvaskan seorang kandidat rektor yang suaranya lebih di atas dibanding yang 'diinginkan' mendikbud. Di pilrek ITS, Priyo Suprobo (60 suara), Triyogi Yuwono (39 suara), Daniel M Rosyid (3 suara). Tuah Mendiknas yang mempunyai suara mutlak 35 persen di rapat senat ITS itu, dan Triyogi (urutan kedua) dipaksakan sebagai pemenang (83,38 persen) dengan perincian: 39 suara + 44 suara dari Mendiknas. Hahahaha... akal-akalan banget. Coba perhatikan data ini: Priyo Suprobo meraih 68,58 persen (8 suara Mendiknas dan 60 suara Senat), dan Daniel M Rosyid dengan 5,03 persen (2 suara Mendiknas dan 3 suara Senat).
Mengamat-amati 'ulah' mendikbud, sungguhlah sebuah suguhan permainan yang tak egaliter, tak cerdas dan mengebiri otonomi kampus.
Lalu apa motifnya? Hemat Kompasianer dari Makassar ini, bahwa kerap terjadi kisruh saat pilrek di PTN hingga tak jarang menjadi arena kevakuman rektorat dan memacetkan aktifitas akademik universitas. Cara pandang sang menteri ada benarnya, bahwa untuk menggaransi normalnya kegiatan akademik, maka perkara pemilihan rektor sama sekali tak bisa dijadikan gangguan secara internal akan proses akademik di suatu PTN. So, kemendikbud memiliki hak 'veto' atas siapa yang dianggap layak memimpin sebuah universitas berdasarkan kompetensi, reputasi, loyalitas, visi, misi dan integrated.
Sebuah kebijakan yang baik tetapi tak benar. Sebab, ini inisial dari 'penunjukan langsung' secara halus untuk sebuah posisi rektor. Solusinya: Ya DPR segera memanggil mendikbud kita yang rentan masalah itu. Setuju? Hahaha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H