Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Idul Fitri Bungkam Merah Putih

18 Agustus 2012   05:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:35 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13452670241522396557

Ini fakta. Di kompleksku, tiada merah putih berkibar. Tafakkurlah saya. Gejala sosial apa gerangan?. Mengapa nasionalisme itu melepuh, gontai dan melembah...!. Tersedat-sedat perasaan ini. Memburu jawaban atas segala ini. Satu singkap yang kupahami: MERAH PUTIH teremehkan.

Kian terkaparlah sukmaku saat memirsa televisi, beratus-ratus kampung tak kibarkan merah putih. Disisir dari Aceh sampai Merauke. Seorang warga terwawancarai dan di sanalah kujumpai jawaban: "Ini karena jelang lebaran. Kita fokus ke idul fitri".

[caption id="attachment_207440" align="aligncenter" width="415" caption="Hanya Merah Putih inilah yang berkibar di kompleksku. Pemiliknya adalah Kompasianer dari Makassar. Kubangga mengibarkanmu walau seorang diri. "][/caption]

Luruh sudah prasangkaku, kukira idul fitri itu hari kemenangan. Dan kuberanikan diri berucap: "Idul Fitri ibarat musibah, bencana alam, berkabung". Seolah idul fitri ini menjadi permahfuman terhadap orang Indonesia tak menggerek bendera di depan tempat tinggalnya. Dahsyatnya Idul Fitri, mampu memasifkan Sang Merah Putih dan tak berkibar di angkasa rayaku. Semoga di tahun-tahun mendatang tak ada lagi mengambinghitamkan perayaan-perayaan agama demi melalaikan perayaan hari kemerdekaan.

* * *

Tak kibarkan bendera karena mudik dan idul fitri, buatku ini sebuah alasan yang berlebihan. Seberat apakah mengibarkannya?. Sesusah apakah menaikkannya?. Bilang saja terus terang, kalau memang minim respek, don't care dan gak penting. Jika memang mau, dan benar-benar mengaku bertanah air Indonesia maka kita akan lantang berucap: "Walau bumi berguncang, merah putihku tetap kukibarkan...!".

Terbantahkan hipotesaku, awalnya kumenduga umat Islam berbangkit-bangkit cinta tanah air, cinta nuansa kemerdekaan, kenangan enam puluh tujuh tahun nan heroik itu. Simultan dengan hari super sakral itu di bulan delapan Masehi, bulan sembilan Hijriah alias ramadhan, kala itu.

* * *

Tiada ketersinggungan, tiada bisik hati merasa malu tak menaikkan merah putih kita itu. Tunggulah saat negara lain membakar dan menginjak-injak Merah Putihmu. Baru kau tahu rasa, tercabik batinmu, marah dan murka. Mengapa marah? Mengapa murka?. Bukankah selama ini engkaupun tak menghormati Merah Putihmu?^^^.

MERDEKA....!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun