[caption caption="furindria.blogspot.com"][/caption]Pekan III: (terinspirasi lagu)
---------------
"Kau kusayang...S'lalu kujaga". Lirik inilah membilah kerinduanku padamu, di seat 21 C di penerbangan Hong Kong-Jakarta, 21 C perlambang 21 Maret untukmu Clara, tautan jiwaku itu: "Duhai pramugariku, ucapkanlah sesegeranya jika sesaat lagi pesawat ini akan mendarat di Soekarno Hatta", gugatku membatin!
Jam 02.00 sore itu, pesawatku menyapa run a way. Terasaku ingin melompat saja sebelum pesawatku terjeda sempurna. Perasaanku t'lah sampai di raga yang belum bergegas juga. Ini sudah, Jakarta. Gelombang rinduku padamu kian kuat merambat-rambat. Kumerindumu Clara, aku sudah di sini. Menujuku, padamu.
Tas punggungku berisi anak-anak rindu, dan berharap segera menjumpaimu kekasihku. Pada kaca tembus pandang, sosokmu kusuai. Kusiangilah itu! Tepat sekali, engkau menuju suatu tempat. Lalu, engkau buka pintu itu, dan terkagetlah engkau, saat tangan halusmu kuraih, membalikkan arah badanmu di sebuah kafe bandara.
Tak sepotong katapun terucap selain sembab air matamu. Pun akunya setia membatin lagi: "Kau kusayang....S'lalu kujaga!". Alat pengucap kita terkatup, menguncilah! Cumalah batin bersyair cinta dan kerinduan, dialiri sungai-sungai kecil tawa dan tangis. Berdua!
Tiadalah perempuan yang seindahmu itu! Menggegerkan seisi ruang dadaku. Dan baju putih engkau kenakan, kutahu itu, putih adalah utusan cinta suci-putih-tulusmu. Waktu kita kianlah mengancam jikalau pertemuan tak biasa itu, segera bertepi. Dua arti akan turunnya air matamu bak hujan deras sederasnya. Pertama; amatlah bahagia. Kedua; kita mesti berpisah lagi.
Kupeluk engkau, engkau peluk aku. Tangan bercincin itu menepuk punggungku dengan sangat indah dan lembutnya menerpa. Jumpa dua jam, hanya untuk dipisah oleh hitungan menit. Kupaksakan engkau tinggalkan bandara itu, dan engkaupun paksakan aku menuju pesawat lagi, membawaku terbang ke kampungku, Makassar.
Kita pun saling memunggungi dengan dua wajah sesekali menoleh. Pertanda itu tak sanggup berpaling. Sembilan meteran kita berjauhan, lalu kita kembali lagi saling menuju. Kupeluk engkau lagi. Cumalah kalimat yang tepat untuk cinta tragik ini: "Begitu beratnya...Kau lepaskan diriku".
Lalu, mungkinkah kita s'lalu bersama walau terbentang jarak antara kita?
Duh....ingin kuiris-iris dawai gitar Stinky itu yang dipetik pilu-pilukan hatiku! Sembari kumelafaz lagi: