Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Hati-hati Ancaman Penyakit di Tempat Wisata

23 Maret 2015   09:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:15 799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14270731681966128581

Adakah area wisata di tanah air yang menggaransi visitor-nya terbebas dari jangkitan penyakit baru (prevalence rate) atau gabungan penyakit baru-lama (incidence rate) setelah melakukan rekreasi? Bila ada, penulis berniat ke tempat wisata itu. Hendak 'meneliti' lebih jauh soal frekuensi sterilisasi air di kolam renang (permandian), tentang screening penyakit-penyakit kulit (dermatitis) yang begitu gampang ditularkan lewat air (water borne disease) dan jaminan bebas polutan, serta area tanpa asap rokok. Begitupun wajibnya fasilitas 'Klinik Wisata' di tempat wisata, demikian pula aktifkah petugas mengawasi penghuni kolam permandian? Seumpama seorang anak atas inisiatif sendiri (tanpa sepengetahuan ayah-ibunya) tiba-tiba bergabung dengan orang dewasa di kolam renang dengan tinggi air 125 Cm? Mengapa penulis tergamit akan tanya itu? Sebab, penulis mengamati seksama, pandangi dari dekat akan 'gesture' tempat-tempat wisata kita. Tanya ini termunculkan setelah penulis dan keluarga, kemarin (22 Maret 2015) sambangi sebuah tempat wisata lokal, di sebuah water boom di Maros, Sulawesi Selatan.

Sisi Klinis

Penulis amati seorang ibu, batuk berdahak, saat ia mandi dikolam renang buatan itu. Penulis memercayai bahwa ibu itu, menderita TB (dulu disebut TBC, red). Ibu muda itu, terlihat olehku. Beliau ngos-ngosan, sepertinya ada problem di paru-parunya, di rongga respiratori (pernafasan). "Pemandangan alam' ini, sepele mungkin bagi orang lain, tapi buatku amatlah serius. Ibu manis itu, amat berpotensi tularkan Mycobacterium Tuberculosis. Bakteri yang super cepat menular dan mematikan itu. Ini bentangan fakta bahwa tempat wisata kita, pengunjungnya rawan menularkan/ditulari penyakit generatif dan 'kasus' ibu muda itu, membuatku dan keluarga urung bergabung mandi, Bukan tak menyukai ibu muda itu atau diskrimatif, tetapi penulis dan keluarga, berjaga-jaga, antisipasi kalau-kalau bakteri yang 'menginap' di paru-paru ibu itu, terbang dan hinggap di paru-paruku, paru-paru istri dan anak-anak. Lalu, pembaca barangkali bertanya-tanya, kenapa penulis begitu yakin dan berburuk sangka kepada ibu itu? Oh tidak kawan, seluruh ini 'cumalah' aksi hati-hati, sebab ibu muda itu terindikasi Tbc dengan gejala-gejala yang penulis amati ringan. Untuk membuktikan apakah ibu muda itu benar-benar Tbc? Itu diperlukan uji sputum di laboratorium mikrobiologi dan laboratorium patologi.

Wisata Water Boom, Maros-Sulsel (Dokpri)

Dua garis pokok problematika wisata kita, bertalian dengan kedokteran pencegahan dan kesehatan masyarakat: 1. Penyakit generatif 2. Penyakit degeneratif. Inilah sketsa kurang atensinya manajemen kesehatan di Daerah Tujuan Wisata (DTW) regional kita. Tempat wisata dan rumah sakit, serupa tapi tak sama. Keduanya berpotensi terjadinya infeksi nosokomial. Lalu kepada siapa 'kumengaduh' atas fenomena wisata kita ini? Apakah ke pemda cq dinas kesehatan, LSM, kampus, atau masyarakat? Karena bagiku, kurang fair bila hanya bandara diperketat screening dan peng-karantina-anpenyakit menular ataukah penyakit zoonotik lainnya. Di tempat wisata, pun miliki hak yang sama dan dijamin Undang Undang Kesehatan RI kok. Entha itu wisata alam, wisata bahari, wisata budaya (semisal Tana Toraja dengan pesta kematian), ataukah wisata bulan madu, pilgrim. sosial, pertanian dan seterusnya. Semua jenis wisata ini, sampai kini (mungkin?) tiada jaminan bebas jangkitan penyakit, entah dari sumber penyakit dari tempat wisata itu sendiri, maupun dari ramainya pengunjung, pengunjung yang membawa serta penyakitnya populer disebut agent.

Sisi Psikologik

Apakah yang riskan saat ke tempat wisata (baik profesional maupun amatiran) adalah soal keamanan psikologik, betapa tak nyamannya bila terhantui kalau-kalau dompet dan handphone kita dalam ancaman pencopetan dan pencurian. Ini sisi lemah dari lokasi wisata di tanah air, sepertinya tempat wisata telah sepaket dengan aksi-aksi nyolong, membentuk sebuah 'budaya baru'. Belum lagi, ngobrol soal kebersihan, tentang sampah-sampah wisata, plus sedikit kesemrawutan lahan parkir kendaraan, Maka, jadilah agenda rekreasi kita 'diselasar' oleh kecemasan-kecemasan ringan. Jelas ini perkara perilaku, problematikan yang rada-rada sulit dibereskan. Adalagi pemisahan bayar parkir dengan tiket tanda masuk. Tidak bisakah diakali agar pembayaran dan biaya-biaya disatupintukan saja. Tak ayal lagi, biaya wisata di dalam negeri relatif mahal seperti lansiran Kompas Cetak pagi ini: "Wisata Dalam Negeri Mahal". Penulis iyakan berita Kompas tersebut. Adakah yang sudi menjawab pertanyaan penulis, mengapa souvenir di tempat wisata cenderung mahal pula? Apa biaya produksinya berbeda ketika souvenir itu dibawa ke tempat non wisata? Ataukah pajak penjualan di tempat wisata juga cenderung tinggi? Entahlah! Pastinya, harga beli souvenir (di DTW kotaku) sepertinya memang mahal. Lalu apa nilai tambah yang membuat pengunjung kian tertarik bila harga beli lebih tinggi di banding tempat lain? Ini di daerahku, entahlah di daerah Anda!

Berikutnya, salah satu alasan mengapa penulis lebih suka berwisata ke Bali, sebab di sana, penulis tak merasa terancam akan kehilangan dompet, laptop, handphone dan barang berharga lainnya. Satu budaya yang penulis petik di Bali, orang Bali jujur-jujur, kurang/tidak suka dengan properti curian. Itu empirikku soal adat- istiadat dan budaya Bali, entah kawan-kawan.

Subtansi artikelku ini, terfokus pada ancaman penyakit klinis bahwa diperlukan pengamatan jeli dari 'pelancong' atau penimkat wisata akan risiko tertular penyakit atau malah menularkan penyakit kepada orang lain, misalnya ISPA, malaria, DBD, cacar (variola, small fox atau varicella), Tb dan penyakit generatif lainnya. Bila saja ada tempat wisata yang justru menjadi media penyakit, maka penulis juluki bahwa tempat wisata itu 'illegal' dari aspek kesehatan karena minimnya kepedulian akan keselamatan nyawa manusia. Dan itu ancaman jiwa bagi keluarga termasuk anak-anak kita yang kita sayangi itu!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun