"Bos Tak Pernah Salah". Stiker ini terpajang di pintu ruangan atasanku. Setiap orang yang membacanya akan memastikan kalau Bos yang ada di dalam ruangan itu adalah seorang yang tak pernah salah. Kelakuan atasanku ini yang doyan memecat bawahannya membuat staf lain ngeri dan tunduk pada semua ucapannya. Hadirlah rasa ketakutan di tiap ruang gerak di institusiku ini. Parade mutasipun kerap dilakukan tanpa alasan yang akurat dan rasional.
[caption id="attachment_202661" align="aligncenter" width="425" caption="ilustrasi: kahler leadership group"][/caption]
Di institusiku ini, sekitar 7-9 orang telah mengundurkan diri. Atasanku belum insyaf-insyaf juga mengamati gejala pengunduran diri ini. Sekali waktu, saya ketuk pintunya, ia persilakan saya masuk. Duduklah saya, dan menanyakan perkara pengunduran diri itu sekaligus tindak pemecatan beberapa staf. Ia diam atas pertanyaanku. Saya menduga, diamnya disebabkan beberapa faktor yakni antara saya dengan dia hanya beda setahun dalam usia, dan juga sahabatan sewaktu mahasiswa, dulu.
Jawaban terbata-bata meluncur darinya: "Saya ingin intitusi ini aman". Tegasnya ucapannya ini..!!! Keyakinanku, ucapan ini adalah representasi dari seluruh pemimpin di seluruh dunia -inginkan institusi atau perusahaan yang dipimpinnya aman- yang berbeda hanyalah teknik 'mengamankan' sebuah institusi.
Kukatakan padanya: "Intitusi kita memang aman tapi mencekam". Kata-kata ini, saya adopsi dari Anhar Gonggong di sebuah wawancara ekslusif di TV One beberapa tahun silam. Ia kaget dengan ucapanku, iapun sukses menunda kemarahannya. Ia sadar bahwa saya bukan staf kacangan, bukan pula anak baru kemarin. Sebab sejak awal perintisan institusi ini, saya dan dia selaku pendiri. Saya mengalah saat pemilihan atasan, saya beri dia kesempatan untuk memimpin institusi yang bergerak di bidang pendidikan ini. Namun saya kecewa terhadap style kepemimpinannya. Saya sadar, pemimpin seperti ini tak akan membuat bawahan loyal padanya. Pemimpin serupa ini tak akan dikenang bawahannya. Kalaupun dikenang, yang dikenang hanyalah kesewenang-wenangannya.
* * *
Artikel ini kutulis berdasarkan fakta, bukan fiksi. Sayapun paham bahwa tak ada teori kepemimpinan yang terbaik di dunia ini. Semua tergantung situasi psikologis organisasi, namun untuk takaran sosial budaya masyarakat Indonesia, kita umumnya penyuka kepemimpinan demokrasi. Segalanya dibicarakan jika ada masalah, termasuk saat memilih sebuah kebijakan. Sayang sekali, atasanku ini hanya seorang Bos bukan seorang lead organizer.
Beda Haluan, Tak Berarti Tak Bisa Kerjasama
Teringatlah saya dengan dua kandidat presiden Amerika Serikat: Barack Husain Obama vs Hillary Clinton. Saat Obama sukses mengalahkan Hillary Clinton, seterusnya Obama menjadi Presiden Amerika Serikat. Hillary Clinton direkrutnya dan dijadikannya Menteri Luar Negeri. Saat itu, sayapun sukses 'geleng-geleng' kepala atas teknik Obama dan kebesaran jiwa seorang Hillary yang legowo membantu rivalnya di Partai Demokrat-Amerika Serikat. Terlepas dari adanya sebuah ketergantungan atau kepentingan seorang Obama, saya tetap salut pada beliau.
Bukan kumencibir, bukan pula kumerendahkan negeriku, Indonesia. Namun, sering kumengamati bahwa jika ada dua kandidat yang berkompetisi di ajang pemilukada atau pemilihan rektor, pemilihan dekan, pemilihan direktur bahkan pemilihan bupati. Maka, faktanya: yang memenangkan pemilihan itu akan menebas seluruh 'antek'antek' mantan pesaingnya. Tiada peduli lagi, apakah dalam dinasti saingannya itu bertumpuk manusia-manusia ber-SDM tinggi atau bukan. Pemimpin atau atasan seperti ini,saya sebutkan sebagai seorang atasan Tuna Netra, sebab ia tak sanggup membuka matanya terhadap realitas dan potensi orang lain.
Amatan saya sebagai Kompasianer, pemimpin serupa itu adalah cermin arogansi, spion kepribadian yang memiliki kecerdasan melepuh nan rendah. Ia buta bahwa setiap manusia punya talenta untuk diajak bekerjasama, berkembang bersama dan berjalan bersama.