Di pagi di depan pintu rumah cicilan kita inilah lagi
Kumantrai ubun anakku berseragam
Nafas hatiku kuhembus aksara:
-Ayah tiadalah berharap si muluk-
Tak merindu engkau pintar di sekolah
Ayah cumalah mendamba jikalau engkau di tahta anak baik
Bersenang-senanglah di halaman sekolah nak
Ceria-bahagia di hampar senyuman pulalah di sana
Rawat-rawatlah ucapanmu di sekolah
Karena itu sekolah nak...Tempatan mulia
Jikalau ucapan baikmu masihlah kering
Basah-basahilah lagi ucapan-ucapan berbudi
Tentunya dari bibirmu yang disusui ibumu...dulu
Perlambang itu kisah kasih di tempo bayimu
Janganlah berhutang pada mulut orang
Untuk engkau lunasi dengan bualan yang kotor-kotor
Lantaran ayah akan bersedih bila itu terlakukan
Di sepengetahuanku ataupun tak
Karena sekalinya lagi
Ayah hantarkan kalimat untukmu
Bila engkau kutitipkan di sekolah
Agarlah engkau ditumbuh-dipupuk selaku manusia baik
Nantinya
Karena lagi rupa manusia baik itu
Seperangkat rasa cerdas dan rasa pintarnya
Akan terikut-ikut jua
Anakku, dengar-dengarlah
---------
Makassar, 18 Juli 2016
@m_armand fiksianer
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H