BERDAYAKAN rakyat di pulau terluar Indonesia, itu alasan lain blusukan Presiden RI, Joko Widodo. Pesan internasional Wong Solo itu, sesungguhnya memberi aba-aba kepada Malaysia bahwa KITA BIKIN RAME bila negara tetangga -berpenduduk 29 jutaan itu- masih hobi ancam-ancam kedaulatan NKRI. Dan, alhamdulillah Kompasianer Makassar ini pernah 'blusukan' di Sebatik ini. Sebuah pulau yang eksotik sesungguhnya namun pemerintah 'merawat' zona memprihatinkan ini, sekian lamanya.
Warga Malaysia Provokator?
Di depan zona sirkuit internasional, Sepang-Malaysia. Darah segar nasionalismeku terdidih. Adalah Murad Bin Saleh berkenalan denganku, ia humoris, namun bablas. "Dulu, kita berguru di Indonesia, sekarang Malaysia jadi guru mereka", ejeknya padaku. Apakah saya kelewat sensi akibat telah ada predisposisi ketaksukaanku kepada Bangsa Malaysia yang nota bene banyak sepupuku bermukim di Kuala Lampur dan Sabah juga. Lalu, ia kembali mengacak-acak perasaanku: "Kita merdeka tidak ada pertumpahan darah, tidak seperti Indonesia". Okelah, saya terima ucapannya itu sebab teramat sesuai fakta bahwa para pejuang kemerdekaan kita, memanglah telah membayar kemerdekaan ini dengan keringat, darah dan nyawa. Yang membuatku tersinggung, kesal dan marah karena ia ucapkan kalimatnya dibumbui dengan ketawa ejekan.
Lalu, saya kunci lengannya dengan jurus KATA III ala Karate dan mengeraskan suara: "Murad, berhentilah kau olok-olok negaraku". Dia diam, dan sepertinya ia baru paham bahwa saya marah sekali, nampaknya orang Malaysia itu cukup sadis memberi perlakuan kepada 'serumpunnya' sendiri. Maka, saat itu, saya memberi label bahwa Malaysia itu 'muka tembok'. Doyan memancing kekeruhan, kemarahan. Dan setelah kita benar-benar marah, ia hentikan hasutannya secara temporer. Buktinya, Murad beberapa saat kemudian berkata lagi: "Hehehe di Malaysia itu, istri yang ditinggal mati suaminya, digaji oleh negara. Gimana di Indonesia". Bila menghadapi orang seperti ini, etnik Makassar menyebutnya: "Patua-tuai".
[caption id="attachment_383582" align="aligncenter" width="446" caption="9 Desember 2012, Kompasianer Makassar ini berada di Patok Satu Tapal Batas Indonesiaku dengan Malaysiamu"][/caption]
Kucing-kucingan
Penduduk di sini, kerap was-was saat kedua negara bersitegang. Apalagi saat Ambalat dipertengkarkan. Indonesia dijadikan bulan-bulanan oleh Kerajaan Malaysia. Penuturan seorang warga : "Malaysia bagus-bagus tauwwa senjatanya". Ucapan WNI asal Bugis Sidrap ini, membuatku terdiam. Â Di zona rawan pertikaian ini, menyisakan kisah tersendiri. Penanda batas laut -antara Indonesia dan Malaysia- mengapung 24 jam dikontrol oleh masing menara kedua negara. Kedua penduduk negara itu, kerap berbenturan dengan patroli laut. Bahkan, lanjut kisah lelaki paruh baya itu, kadang kita lompat dari perahu bila melewati batas wilayah teritorial. Namun beberapa nelayan Malaysia lolos begitu saja mencari ikan di wilayah Indonesia.
Mengapa begitu mudah nelayan Malaysia menerobos perairan Indonesia? Kabar terakurat bahwa fasilitas mercu suar kita sudah tak layak pakai, fungsi detektor tidak ON FIRE, hingga pemandangan warga Malaysia memasuki zona terlarang Indonesia, adalah biasa. Kata Pepih Nugraha: "Ala bisa karena Malaysia".
Akrobatik Jokowi di Sebatik
Saya terharu dan sekaligus cemas akan aksi Presiden Joko Widodo, menaiki tangga satu persatu, pos menara pantau di Sebatik, Indonesia. Ini keputusan luar biasa dari seorang Joko Widodo. Tak mudah melakukannya, tak gampang menaiki tower setinggi 18 meter itu. fisik harus prima, mental pun wajib fit!
Tindakan kepala negara itu tak dapat lagi disebut zona pencitraan (versiku), karena ini zona DANGER. Mercu suar Malaysia pasti memantau itu. Fasilitas keamanan perairan Malaysia kok memang di atas Indonesia dalam hal teknologi. Joko Widodo di puncak tower itu, sekalipun hanya menanyakan kesehatan TNI yang berjaga di sana.