Pesannya, masuk!
sungguh kutak membaca apa-apa,
kecuali merabai jiwanya.
Seperti seorang pelukis,
kubukan melukis rupa-rambut-dagunya.
Sungguh aku melukis se-isi jiwa Neya,
kekasihku-cairan hatiku.
Seperti pekerjaan,
dimulai tak selesai-selesai.
Begitupun cintaku padanya,
berpangkal-tak berujung.
Di senja itu,
Neya melenggang menujuku.
Sungguh aku telah memeluknya,
sebelum tibanya ke aku.
Dan, pada bibir mungil, itu!
terima kasihku padanya; untuknya
...penerjemah hatinya
padaku
Sebentar saja, Neya sembab,
di pelukanku.
Siapa yang ditangisi, Neya?
Sungguhlah bukan aku; kekasihnya.
Ia tangisi tibanya pisah, kelak!
Tiba yang tak dimaui.
Menangis
Me-lara
------------
Makassar, 3 Januari 2019
@m_armand fiksianer