Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menulis Opini, Isinya Kampanye

26 Desember 2018   19:04 Diperbarui: 26 Desember 2018   19:17 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.iconfinder.com

Bila saya bertemu tulisan yang relnya 'hanya satu' maka itu adalah kampanye. Dan, saya beritahu, antara opini dan kampanye, tentu beda. Kampanye itu menyokong, mendukung, memuji-muji, mengangkat-angkat, medorong-dorong perseorangan atau kelompok tertentu. Belum lagi adonan-adonan yang memojokkan pihak lain dan ia katakan itu opini bahkan dibumbuhi -sebagai self dependence- opini pribadiku. Tak bisa diterima argumen yang 'ngeyel' ini, karena opini adalah pikiran-pikiran yang dibelah-belah, lalu ditulis-publikasikan. Belah-belah, maksudnya opini ini memiliki penyanggah-penyanggah keseimbangan. Opini itu mempertemukan dua atau lebih akan suatu pendapat orang lain. Ciri khas opini adalah mengajak (persuasi) pembaca untuk turut berpikir akan opini kita. Malahpun, opini kadang-kadang menawarkan pertanyaan: "Bagaimana pendapat Anda?

Secara psikologi, opini itu memiliki karakter kognitif dari penulisnya. Itu branding sebuah opini! Penulis opini saat memulai menulis opini, pun diawali dari pertentangan-pertentangan persepsi, pendapat atau ide dari orang-orang sekelilingnya, atau sumber-sumber pengetahuan yang ia baca, ataukah ucapan-ucapan tokoh masyarakat, ataukah kalimat-kalimat verbal yang beredar di medsos. Falsafah dan motto dalam menulis opini adalah "Setiap Paragraf Adalah Tawaran Berpikir". Jelas ini wilayah kognitif bukan afeksi ataukah psikomotor. Lalu, campaign (kampanye) adalah area psikomotorik yang dituliskan atas dasar afeksi (rasa), Masyarakat penulis kerap menyamakan opini dengan esai. Itu beralasan karena kedua genre ini, sama-sama tidak berakhir. Nasib opini dan esei berada di tangan pembaca. Jadi, keniscayaan jika ada opini yang tendensius. Yang tendensius itu adukan-adukan kampanye dileburkan menjadi opini. Itu leading writing! Itu 'violentif, karena membungkam pintu berpikir pembaca sekaligus menutup gerbang bernalar pembaca. Jika demikian, maka fungsi-fungsi otomat opini mandek, tidak aktif dan beku. Namun, ada persamaan antara opini dan kampanye (dalam hal menuliskannya) yakni keduanya sama-sama membujuk. Opini membujuk pikiran pembaca (kognisi), sedang tulisan kampanye membujuk psikomotorik. Strata berpikir tak diperlukan di sini. Hanya soal agree or disagree!

Menulis opini itu, work hard. Karena penulisnya mesti sanggup menggabung-gabungkan sumber informasi, sumber fakta, dan sumber lingkungan. Work hard berikutnya, penulis opini membutuhkan energi besar untuk melepaskan pemihakan-pemihakan secara fisiologis-ideologis. Kombinasi-kombinasi kabar-berita wajib proporsional, maka penulis opini memang seharusnya menyejajarkan segala warta atau berita atau informasi ataukah lainnya. Praktisnya, opini adalah meletakkan dua atau lebih kenyataan informasi (data) dan dibutuhkan keterampilan untuk menuju ke-obyektif-an dalam menyajikan atau menampilkan pendapat orang-orang. Penyajian opini memang khas karena terkesan hanya menyuguhkan masalah yang tak selesai-selasai namun dalam artikel opini, minimal penulisnya telah/sedang memiliki teknik memandang sebuah topik, tema atau isu,

Saya tak lagi 'bernasehat' bahwa menulis soal-soal fakta yang tak seimbang adalah pekerjaan tak sulit. Yang sulit itu menulis sesuatu yang presisi dalam ukuran keseimbangan fakta-fakta, peristiwa-peristiwa, pendapat-pendapat, persepsi, asumsi dan pandangan. Ada kecenderungan (psikologi) bahwa penulis opini beriringan dengan pikiran dan jiwanya. Opini memang pekerjaan kogniitif namun operasionalisasi artikel opini didukung aspek kejiwaan. Segala yang berjiwa, untuk memanifestasikannya, tentulah memerlukan media, dan pekerjaan otak. Kecenderungan lain, penulis opini memiliki 'genetik' memandang segala sesuatu dengan alot. Ada proses editing dalam meramu opini, ada seleksi berlapis dalam menuangkannya tanpa 'kemirningan' dalam beropini.

Tamsil, penulis opini menyandingkan dua pendapat, dikotomis dan heterogen. Umpama (judul opini): "Menghapus Karya Wisata di Sekolah, Mengapa Tidak!". Dari tema/judul yang diangkat penulis, dipastikan ia telah melakukan  riset referensi baik bersifat internasional, nasional atau lokal. Dengan mencaplok kata "mengapa tidak!", penulis mengumumkan pikirannya bahwa iapun dalam soal penghapusan ujian di sekolah, antara setuju dan tidak setuju. Tarulah, saya membaca artikel orang tersebut. Maka saya tidak setuju jika 'Kegiatan Karya Wisata' bagi murid-murid/siswa-siswa dihapuskan karena dari puluhan metode pembelajaran, salah satunya adalah Metode Pembelajaran Karya Wisata. Murid-murid diperkenalkan lingkungan luar sebagai sumber pengetahun/ilmu. Sedang pembaca lain 'setuju' dengan penghapusan Karya Wisata karena itu bisnir guru-guru, kepala sekolah dan yang 'berkepentingan'. Bayangkan biaya A to Z para guru mulia itu dibebankan kepada murid/siswa. Dengan pertentangan ini, di situlah suksesnya sebuah artikel opini. Opini ini akan alot di masyarakat (orangtua, terutama), dan opini seperti ini penting untuk disampaikan lewat media karena soal-soal sosial, bnkan hanya soal pendidikan. 

Nah, pembaca artikel ini, penulis mulai terjebak 'kampanye', yakni kampanya antara setuju atau tak setuju. Namun, tiada kata pasti di sini. Maka, ini opini bukan kampanye. Kukira begitu! Berbedalah antara opini dengan opini kampanye. Opini kampanye ialah opini yang dikampanyekan dan kampanye diopinikan. Jelas itu subyektif, soal pembujukan (sembunyi/terang-terangan). Umumnya, penulis opini kampanye tidak suka didebat, tidak suka berseberangan, maka pembaca opini kampanye sebaiknya berusaha memberikan tanggapan datar-datar saja untuk menjaga keseimbangan perasaan penulis. Sebab, sejak detik pertama sampai injury time, memanglah penulis opini kampanye digiring persaannya (afeksi/afilisasi/simpati/empati dan lain-lain).

Akhir tulisan, saya kutipkan pendapat seorang Kompasianer bernama Harianto Imada (Kompasiana, 6 September 2013) : 

"Opini adalah pendapat, gagasan atau pikiran. Artikel opini yaitu pendapat, gagasan atau pikiran yang bersifat pribadi terhadap sebuah objek yang dijabarkan dalam bentuk uraian agak panjang yang bernama artikel di mana hal tersebut bersifat bebas, rasional dan objektif disertai argumentasi berdasarkan fakta yang didukung  format berlogika yang logis dan benar. Artikel opini bersifat objektif karena merupakan persentuhan antara subjek dan objek sehingga menghasilan sebuah pengetahuan yang kemudian dideskripsikan ataupun diuraikan menjadi sebuah susunan kalimat-kalimat yang bersifat menjelaskan pendapat, gagasan maupun pikiran tersebut"

Salam Kompasiana
Makassar, 26 Desember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun