Di lentang Oktober 2018, lalu. Ditemukan 'cermin retak' -jika enggan disebut hancur- di salah satu perguruan tinggi di Indonesia ini. Penulis belum menemukan validitas informasi (A1/data primer) akan berita heboh dari dua orang berlainan jenis kelamin (yang masing-masing merasa dilecehkan). Mereka adalah MR (rektor/penguji disertasi) dan KS (mahasiswa program doktoral ilmu lingkungan/promovendus). Promovendus adalah seorang sarjana telah menyusun disertasi dan berusaha penuh mempertanggungjawabkan disertasinya di hadapan yang mulia para penguji di perguruan tinggi.Â
Pembaca sedapat mungkin menjelajahi kabar itu di pelbagai media. Pada akhirnya kita sama-sama 'hanya' mengeruk data /informasi sekunder. Hingga kelayakan memberitakan kabar dan mengabarkan berita, antara Aku dan Engkau, tiada beda, sederajat, sama saja. Yakni, infomasi yang berada pada lapisan terluar. Histori singkatnya, KS (korban) dan MR (pelaku), secara holistik, keduanya melakukan pelanggaran etika. Multi sebab dalam kasus ini, penulis ragu untuk 'memvonis' kasus ini dari pandangan sekejap/sempit. KS adalah mahasiswa S3, MR adalah pengujinya. KS meminta tanda tangan dari penguji, penulis tak tahu menahu tanda tangan apa? Apakah tanda tangan persetujuan untuk menuju ujian tutup atau menuju ujian promosi? Â Ataukah 'hanya' sebatas tanda tangan pengesahan bahwa penelitian tingkat tinggi itu telah dikoreksi oleh MR ataukah apa?
Dari 'penglihatan' budaya kampus, diksi meminta tanda tangan itu adalah bahasa induk, di dalamnya beragam aktiftas, boleh jadi korban hendak konsultasi, mohon dibaca disertasinya, memberi informasi tentang progress risetnya, ataukah sang peneliti untuk tujuan mencapai gelar akademik /jenjang studi tertinggi di perguruan tinggi cuma ingin berkeluh sehubungan dengan karya ilmiahnya atakah lainnya. Apesnya! Pembubuhan tanda tangan dalam sebuah lembaran tidak ditemukan bahasa hukum bahwa "Tertandatanganinya karya ilmiah ini sebagai fakta adminitratif dan akademik, tanda tangan dinyatakan tidak sah jika di kemudian hari terdapat kekeliruan baik teknik penulisan, metode penelitian, sumber data maupun referensi ilmiah lainya"
Buram informasi akan 'keinginan' KS terhadap MR. Karena meminta tanda tangan itu adalah perkara sakral di dunia penelitian, membubuhkan tanda tangan adalah pertaruhan intelektual seseorang, martabat keilmuan, harga diri pengetahuan dan bayaran mahal kompetensi. Objektifnya, akan sangatlah mudahnya dosen penguji membubuhi tanda tangannya jika sebuah penelitian beserta berbagai proses/tahapan penulisan disertasi memang layak untuk ditandatangani.Â
Kasus yang telah berada di tangan kepolisian itu, adalah buah dari deadlock antara mahasiswa dan dosen pengujinya. Peristiwa seperti ini kerap terjadi, namun melempar disertasi ke mahasiswa adalah salah satu dari "tujuh keajaiban dunia". Penulis clean soal disertasi, tidak lagi di situ perdebatannya. Ini perjalanan kasus dari tema akademik menjadi topik non-akademik (dari soal ilmiah menjadi perkara alamiah). Karena marah, kesal, kecewa, jatuh cinta, rindu, patah-hati  dan sederetan soal-soal kejiwaan lainya adalah gejala alamiah pada manusia, termasuk penulis.Â
Pada 'cermin retak' pendidikan tinggi itu, dikabarkan satu-satunya dosen penguji yang belum tanda tangan, dialah MR. Menarik untuk penulis, saat sisa satu orang dosen penguji belum tanda tangan, sedang 6 (enam) penguji lainya sudah melaksanakan tugasnya (membaca, mencermati, menganalisa, menghubungkan teori-teori, menunjukkan referensi, dll) hinggga akhirnya ke-enam dosen penguji itu, masing-masing memutuskan untuk membubuhi tanda tangannya. Penulis dapat menduga bahwa memang ada 'masalah' di sana, hadir masalah lain di sana sehingga MR tidak memutuskan untuk tanda tangan, namun penulis meyakini MR memiliki pertimbangan. Tepatnya, pertimbangan apa, penulis pun tak tahu.
KS bisa jadi dalam ranah putus asa, bingung ataukah panik sehingga KS membicarakan satu pokok bahasan yang tiada pertaliannya dengan pokok bahasan disertasi. KS mengalihkan ke pembicaraan kontrak kerjasama tentang pelatihan kepada mahasiswa. Penulis tidak tau pelatihan apa. Penulis hanya sedikit tahu jika ada kegiatan beraroma pelatihan, biasanya berhubungan dengan konsekuensi finasial/bayaran akan silabus pelatihan, metode pelatihan dan rancangan anggaran biaya pelatihan dan tetek-bengek aktifitas lainnya dalam 'proyek/program pelatihan'. Kontrak kerjasama itu, diputus sepihah oleh MR. Nyatalah di sini, bahwa KS memosisikan MR bukan lagi sebagai dosen pengujinya tetapi KS melekatkan MR  dengan jabatannya. Lazim, ideal dan budaya kontrak kerjasama itu, memang pucuk pimpinannyalah yang berwewenang untuk bertanda tangan di sebuah institusi. Moga-moga penulis benar, Insya Allah.
Di sinilah, MR merasa dilecehkan oleh mahasiswanya, dan melemparkan disertasi itu mengenai tangan korban. Di sini jugalah korban merasa dilecehakan hingga lahir majas ironi ataukah ucapan sarkas dari korban: "Binatang tak bermoral". Lagi-lagi, penulis tidak tau apakah ucapan kurang adab itu terjadi sebelum atau sesudah pelemparan disertasi! Di metode penelitian kuantitatif, ini disebut cross sectional, maksud penulis, kita tidak tahu yang mana lebih dulu terjadi, pelemparan disertasikah lebih dulu, menyusul kata sarkas itu, ataukah kalimat kasar lebih dulu, menyusul pelemparan disertasi itu.Â
Dari tilikan psikologi umum, KS membahas kontrak kerjama adalah trik KS untuk 'menjinakkan/menaklukkan' MR selaku dosen pengujinya agar mau tandatngan dan trik biasa tapi tak umum. Trik umum mahasiswa agar dosennya 'iba' adalah mahasiswa dalam bahasa terbata-bata mengatakan sudah dekat tanggal wisuda, pembimbing/penguji lainnya sudah tanda tangan, atasan di kantor sudah sering bertanya kapan selesai? Beasiswa memasuki tahun terakhir, dan lain-lain. Dari tilikan psikologi pendidikan, jelas perbuatan KS dan MR adalah tindakan anti-sosial. Dari pembacaan head to head,  kalah-menang, KS 'memenangkan' kasus ini karena KS sukses melaporkan rektornya ke kepolisian. Ini kasus tergolong langka di Indonesia.Â
Pelaporan itu tiada lagi kaitan dengan status dosen penguji  di sini, ini sudah berjalan di tanah hukum dan segenap ranahnya (tindakan kriminal/pidana/perdata) yang melibatkan seorang rektor yang telah disumpah untuk menjunjung tinggi azas kemanusian dalam pelayanan publik dan juga seorang mahasiswa yang sedang di jenjang Pendidikan Strata Tiga yang sebelum terdaftar sebagai peserta didik, telah melalui proses alot bernama test TOEFL, psikotes, mutlak mendapatkan rekomendasi dari minimal dua yang berkompetensi, mengisi formulir bersedia mengikuti aturan pendidikan S3, surat keterangan berbadan sehat, surat izin atasan dan seterusnya.
Berikutnya, KS pun 'kalah' dalam kasus ini karena enam dosen penguji serentak mundur, tak bersedia lagi menjadi dosen penguji terhadap korban. Dan, KS sudah terhitung dua kali dalam status koban: 1. Dilempar disertasi, 2. Raihan gelar doktornya terancam dalam bahaya besar.