Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Jalan Kenangan di Kompasiana Itu

21 November 2017   20:33 Diperbarui: 22 November 2017   07:20 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Kompasianival 2015 (dokpri)

ADUH...! Lomba berakhir ini hari ya? Untunglah diingetin oleh Admin Kompasiana. Thank you. Dan, ini artikel masih berupa draft di penanggalan 4 November 2017. Biangnya karena kekurangrajinan untuk menuntaskan artikel dan sayang jika tak kuselesaikan. Sisi lain. kutetap sadari bahwa saya sudah ketinggalan poin untuk sebuah kategori penjurian yakni mem-publish pada jeda-jeda akhir lomba. Namunnya, tabiatku memang sekelas follower. Yang subtansi dalam hidupku adalah ikut saja. Ya, kedudukanku memanglah follower. Di kampusku, gak tenar. Di masyarakat juga tak populer. Di organisasi atau lembaga, sama saja, tiada top-topnya. Di majelis taklim, juga tak aktif. Karena saya memanglah tipe home industry. Ha ha ha

Tema lomba ini kali, juga menarik, malah bisa ditulis satu buku untuk mengurai kenanganku di Kompasiana -sebuah blog yang berkarakter- yang sulit kutinggalkan. Ini blog memiliki magnet yang sulit kudefenisikan, laksana mencintai seseorang yang sulitmya kutemui apanya yang kucintai-kurindui-kuidami. Wah, mendadak romantis! Hihihi

Soalan kenangan, saya meluaskannya bahwa kenangan itu tak seabadinya dan tak selamanya bersangkutan dengan perkara-perkara indah. Kompasianer asal Makassar ini pun mengendapkan dan memiliki kenangan tak indah (katakanlah buruk, red) di sini, tetapi tiada perlulah kusemai kenangan buruk itu, toh memborosi energi negatif. Lantaran ini lomba yang mengundang warganya bicara baik-baik, saling memuji karena pujian dibalas pujian adalah 'sodakoh'. He he he

Dan,... ayok kita nulis yang soft aja, biar kepala gak jadi mumet. Sobat, Kompasiana ini paruhan perjalanan hidupku, tertonggak sejak 8 Maret 2011, silam. Tahun 2011 itu, wujud demonstrasiku jikalau lelaki ini telah usur dan ashar di Kompasiana. Sisa menunggu mati dan menanti ajal dengan tentunya tetap ber-semangat dalam lentangan waktu, jua segala aktifitas apa saja, bukan malah pesimistik-fatalistik! 

Ya... "Akulah Kompasianer sepuh itu!". Soal kenangan indah, jangan kau tanya lagi! Subhanallah! Perkara keriangan menulis, gembira tak terkira! Masya Allah! Lalu, perihal pencarian jati diri kepenulisan, mohon jangan sangsikan itu! Sesungguh-sungguhnya, penulis kelahiran Mandar yang menetap dan bekerja di Makassar ini hendak bersanjung-sanjung diri jikalau saya memang penulis aktif merabai arus artikel di Blog Kelas Wahid ini. Seterusnya, penulis ber-genre melow (versiku) ini, menyeret lagi petualangan di zona diksi dan fiksi. Inipun telah sebahagian kenangan melambung jauhku, di sini. Lantas, apakah lagi yang bisa disebutkan kenangan jika bukan segala itu? Uhuy...!

* * *

Syahdan! Ada perjumpaan sweet memory with founder Kompasiana, Pepih Nugraha: "Wah, saya ketemu vokalis Kompasiana" (Unhas, 2013). Soal ini, penulis pernah singgung di artikel tahun 2015, silam. Selaku orang Timur, sanjungan itu buatku malu tapi senang, senang tapi malu. Itu juga kenangan, kawan. Ahai...! Sosok ini memang renyah dan awet untuk dibicarakan dan dipersoalkan! Berikutnya, hal-hal yang terkoneksi dengan hikmah-nikmat-khidmad ber-Kompasiana, jujur kuakui jikalau kubertahan dan setia di sini oleh sebuah kenikmatan yang tak terdefenisikan. Penggalan masa silam itu, telah sedang ranum yang disebut kedewasaan berpikir, kedewasaan dalam ber-emosi. Anda rela atau tak ikhlas, akan kutetap menggelari Kompasiana sebagai blog panas dan juga blog sejuk. Terhadap yang mau panas, ya panas! Bagi yang memilih adem, ya adem! Semua terserah kita, kata Pendiri Partai Idaman.

Sederetan nama lawas bak Gusti Bob, Mbahwo, Erri Soebakti dkk, telah lama raib dari Kompasiana. Namunnya, berteman dengan mereka memiliki chemistry yang kelewat aduhai. Layanan dan balasan komen bersahutan, begitu familiarnya. Jikapun berbelokan arah pemikiran, analisa dan model katup emosi atau kemarahan, kami atau kita selalu memberi analogi ataukah pemisalan sehingga tiada yang teronak hati dan perasaannya. Diterima atau ditolak, kita memang makhluk Timur yang perasa. Itu juga yang membikin kita langgeng karena saling pra-empati sebelum terjadi letusan emosi. Jujur, kumengenang mereka di segenap waktu. 

Suatu tempo, terjadi adu-adu komen di Kompasiana perihal gratisnya menulis di sini. Sang kontra cukup jujur hati mengatakan. Dus bertanya ringan; ngapain menulis di Kompasiana? Lah gak dibayar! Namun, seorang yang juga sangat jujur, menyahuti komentar itu dengan hanya berkata lebih dari secukupnya: "Lah, Anda menulis status di FB juga gratis. Ngapain menulis status di sana!". Finally, saling ber ha ha ha dan ber hi hi hi. Bahwa saya yang juga member Kompasiana, tiada luput dari pertanyaan miring-miring serupa itu dan kujawab hanya dengan diam. Diamku adalah jawaban terbaik karena itulah cara mendestinasi pertanyaan se-kece itu. 

Kisah lama kuulang kembali dalam memenangi aneka lomba di Kompasiana. Yang fenomenal saat kumenangi lomba dengan sponsor dari perusahaan AKI. Saat itu, kuberada di Negara Singapura. Berikutnya, menjuara lomba tentang perempuan hebat dari ragam kalangan. Saat itu, kuberada di Papua. Lalu, menjuarai -saya lupa lomba apa- dan kumenangi lomba itu. Kala itu, kuberada di Tarakan, Kalimantan. Praktis lomba-lomba itu kumenangi pada saat kutak berada di kampungku, Makassar.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun