Selanjutnya, Faisal Basrilah orangnya, ini tokok aktif menulis dulu. Beliau juga aktif melayani komentar dari sekauman 'kelas rendah' sepertiku. Belum lagi hadirnya Pak Prayitno yang happy dalam berbalas komen. Kedua tokoh yang kerap bertandang di televisi nasional ini, begitu egaliter. Beliau-beliat memerlakukan warga Kompasiana begitu sederajat dan sejajar di hadapan beragam tulisan dan aneka komentar. Ini kenangan sobat! Lalu, beranjak dari Maret 2011 silam itu, saya mulai memetakan artikel dan cara pandang orang di pelbagai berita, fakta dan kejadian. Ada seorang yang kukenang di Kompasiana ini yang mengabarkan trik dan tips menulis yakni menulis ituhanya butuh satu ketahahan yakni ketahahan duduk! Sebuah trik dahsyat bin ajib. Halah... news kayak begini sudah mainstream dari seorang penulis di Kompasiana, memberi cara menulis bahkan memberitakan diri sendiri seperti itu memang segelintir kemestian, keharusan dan wajib dilakukan. Penyebabnya: tak ada orang yang bisa mengabarkan perihal diri kita selain diri sendiri. Ini namanya swa-kelola dan mandiri banget. Kenangan lain yang sulit kulepas dari kulit kepalaku ialah seseorang menghadiahiku sebuah kalimat heroik: "Armand, kamu itu gak ada mati-matinya menulis di Kompasiana!". Oh, kumengeti dan kupahamkan maksudnya bahwa saya masihlah hidup di Kompasiana, masihlah menulis, masihlah rajin menengok arus tulisan dan hiruk-pikuk artikel, reportase, fiksi dan informasi kelas VIP di blog yang telah berjasa membuatku populer di sini. He he he narsistik.
Lama-lama juga menulis di Kompasiana dan hmmmm... menjadi nominator/nomine pra-event Kompasianival itu adalah 'something'lah. Ibarat Anak Baru Gede yang lagi jatuh cinta. Pucuknya, didaulat menjadi Kompasianer of The Year 2015. Makjleb! Itu kenangan terindahku sepanjang kepenulisan di blog rame-rame ini. Berturut-turutlah peristiwa berikutnya yakni menulis buku yang berpinak dari sekumpulan artikel-artikel di halaman-halaman blog ini. Intinya yang hendak kukatakan jikalau buku itu dihargai poin tinggi untuk urusan syarat-syarat sertifikasi dosen di tiap semesternya dan juga soal kenaikan pangkat sebagai Pegawa Negeri Sipil yang difungsionalkan di sebuah universitas, Unhas namanya. Yang membuatku tertegun, buku yang di deret di tiga perpustakaan itu, selalunya ter-booking. Uhuk-uhuk.
***
Di Makassar ini, beberapa aktifitas dan agenda Kompasiana bermitra dengan beberapa instansi, tarulah Bank, BKKBN, pemkot/pemkab, perguruan tinggi dan seterusnya, kuingat istilah-istilah gaulnya bin prokem yakni Nangkring bersama ...titik-titik. Kutemukan nuansa lain dan beda di saban nangkring. Ini kenangan, ini memory. Manis sekali. Itu cara Tuhan untuk 'keluar sekali-sekali' dari kampus untuk memandang kehidupan lain yang egaliter, semua sama, tiada hirarki. Pandanganku melembah di setiap nangkring, bisa cekikan, berekspresi dan tentu selfi-wefie. Di sana kumengenang teknik-teknik mempromosikan diri, mengiklankan buku, memasarkan produk yang semuanya berasal dari dunia tulis-tulis. hehehe
Di deretan paragraf di atas, telah kukabarkan padamu serpihan kenanganku, ada banyak peristiwa yang luput dari rekaman otakku semisal perjumpaan-perjumpaan sesama Kompasianer yang membikin kelucuan dan kehebohan padahal hanya 2-3 orang. Peletup keakraban ini karena sebelum-sebelumnya sudah banyak prakondisi hubungan inter-personal dan relasi emosional di ajang komen-komenan di setiap lapak.
Berikutnya! Kenangan soal menulis reportase, opini dan fiksi. Nah ini salah satu esensi yang ingin kulentangkan bahwa menulis opini adalah pekerjaan sangat mudah dan yang tersulit ialah bertanggungjawab terhadap saban opini yang kita sudah layarkan di luasnya samudera Kompasiana. Menulis opini sangat membutuhkan data utama dan data pendukung serupa data penelitianlah; data primer dan data sekunder. Apatah lagi reportase yang pada akhirnya tersadarlah saya bahwa menulis reportase merupakan seruan untuk memotret kejadian dari ragam sudut pandang. Pada akhirnya, kukatakan saja bahwa menulis reportasi itu merupakan 'kenangan burukku' karena begitu sulit menemukan peristiwa uptodate dan kekinian. Dan, salutlah saya kepada kawan-kawan yang rajin dan piawai menulis reportase, kalian adalah jurnalis warga sebagai branding Kompasiana.
Di kesunyian ide menulis, penulis tetap melanjutkan perjalanan menulis dan kutemukan destinasi yang serasi dengan jiwaku: Menulis Puisi! Penemuan ini adalah kenanganku. Kukenanglah ia bagaimana metoda menulis puisi yang menyentuh kalbu, mengisi kepala dan mengerakkan psikomotorik pembaca. Aduan antara penciptaan puisi dan selera pembaca, menjadi titik sentral di sini. Lalu, bagaimana cara me-marking kosa kata, menghidupkan atau membunuh kata-kata, menukar-nukar diksi, memutar paragraf, mendahulukan anak kalimat dan lain-lain. Sederetan yang kuungkapkan di sini (tentang puisi) serupa kenangan yang terukir kokoh di segenap sanubari dan sepanjang jejak rekam hidupku, kini dan nanti.Â
***
Kubukan dewa, kubukan malaikat tapi aku manusia (ciyeh-ciyeh)  yang butuh dasar-dasar kemanusian seperti penghargaan (self esteem), ingin diterima oleh masyarakat Kompasiana, dan kenangan soal ini karena saya dijuluki 'Kompasianer Sejuk', mereka belum tahu jika sesungguhnya saya belajar untuk sejuk. Hingga suatu ketika, seorang melayangkan artikel khusus untuk mensinisiku yang pada akhirnya Kompasianer itu berkomentar di lapaknya sendiri: "Susah itu Armand, dia begitu mudah diolok-olok tetapi sulitnya ia bereaksi. Maaf kawan, saya hapus artikel ini".  Kalimat dalam kolom komentar, kala itu, menjadilah salah satu kenangan terindahku dalam fungsi-fungsi self auto correct dalam hidup karena Kompasiana rupa kehidupan. Konkritnya, saya cukup cemerlang melewati masa-masa sulit dengan cara adem, diam sambil berkontemplasi.
Serupa itulah saya rangkum tentang jalan-jalan kenangan selama ber-Kompasiana, jika terinspirasi maka kusyukuri itu. Bila dicibiri dan dilabelisasi alay, juga kusyukuri sebab prinsipku akhir-akhir ini ialah alay, muji-muji diri juga bagian dari rentetan kehidupan manusia dan kerap-kerap perlu untuk melekaskan adanya kepuasan psikologis. Sekian dan terima kasih.
-----------------------
Makassar, 21 November 2017
@m_armand kompasiana