Ustad itu menepuk-nepuk bahuku dengan pelan sekali, sepertinya sedikit pesan tersirat bahwa aku mesti jadi da'i lagi. Berikutnya, saya berbicara begini: "Ustad yang gak harmoni antara ucapan dengan perbuatan, kusebut ustad songker".
"Hemmm... Apa itu ustad songker?"
"Song itu nasyid atau ceramah. Dan Ker itu keropos atau rapuh dalam perbuatan".
"Sahabat, saya baru dengar istilah songker, bahasa apa itu?"
"Bahasa ciptaanku sendiri Tad".
Ustad lembut itu menunduk menahan ketawa, seolah ia masih kuat dugaannya jika aku tak berubah-ubah soal candaan
***
"Panjenengan masih ngajar?" tanyanya seuprit.
"Masih Tad", singkatku.
Lantas beliau berbisik: "Saya berharap, panjenengan bukan dosen songker".Â
Ha ha ha
----------------------------------
Makassar, 28 Mei 2017
@m_armand fiksianer
Powered by Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H