Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sudahilah Berita Tragis Almarhumah Ananda Engeline

15 Juni 2015   21:12 Diperbarui: 30 Juni 2015   01:11 1300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul di atas adalah ujaranku saat berada di depan TV: "Sudahilah Berita Tragis Almarhumah Ananda Engeline!" Kenapa? Karena makin mengaduk-aduk perasaan. Ikhlaskanlah ananda kembali ke Pencipta-Nya dan kita lakukan sebenar-benar do'a atas kepergian ananda, berdo'a real-time di dunia nyata (saat beribadah, red), bukan sebatas berdoa lewat media sosial. Hipotesaku bahwa jejeran do'a via media sosial tidaklah linear dengan apa yang kita lakukan (berdoa) lewat sholat (muslim) atau di gereja, vihara dan seterusnya.

Bahwa ananda Engeline telah tiada, tak ada yang sangkali itu. Bahwa perginya mengenaskan, pun tak sanggup dinegasikan/dibantah. Bahwa pembunuhnya memang sadis, itu juga tak dapat diingkari. Bahwa berita-berita yang setiap pagi-siang-sore-malam, tak dapat dielakkan hadirnya rasa geram atas kekejian ini. Media pun sebaiknya tak mengeksploitasi berita dehumanisasi ini. Sebab, dapat 'mengganggu' ketentraman almarhumah 'di sana'. 

Petiklah pelajaran!

Jangan sangkakan bahwa hanya seorang ibu angkat almarhumah ananda Engeline yang melakukan kekerasan verbal dan non verbal kepada 'anaknya'. Kita pun kerap melakukannnya! Bedanya hanya pada 'out put', Engeline berakhir dengan ke-wafat-an, sedang anak kita terdestinasi di relung psikis yang membatin-terluka-menjerit atas maki-makian kita kepadanya. Kelukaan jiwa sebetulnya, 'kematian' awal dari sebuah tanaman jiwa bagi sang anak. Maaf-maaf saja, penulis tak sedang berkhotbah, tetapi penulis secuil pengetahuan, satu hardikan dapat memblok ratusan kecambah jiwa pada anak, kecambah itu 'mati' sebelum lahir hidup.

Saat penulis 'berikhtiar' untuk memaki ibu angkat Engeline, seketika penulis tersadar jika di ruang-ruang tamu, di bilik-bilik ataukah di halaman-halaman rumah, kerap terjumpai kekerasan verbal kepada anak-anak di rumah. Jauh pandanganku kepada amatan-amatan di tiap rumah tangga bahwa perilaku dan budaya menghardik anak adalah budaya negatif kita. Kian terfaktakan bila di rumah tangga Indonesia itu, hadir 'silsilah' yang salah kaprah, salah tancap dan salah orientasi.

Ini butuh waktu yang lama sekali untuk mengubahnya ke arah budaya positif! Seorang ibu di kultural Indonesia, memanglah segalanya, terbanyak jasanya, terdominan perannya. Hingga kerap peran-peran ini menjadi ruangan lupa diri, ibu sedemikian seenaknya mengatur anak-anak karena ibu meyakini bahwa anak-anak itu milik ibu, sepenuhnya. Mulai soal fisikal, sosial hingga psikologis, seorang ibu sangat merasa semua itu dalam genggaman dan kuasanya. Hingga yang terjadi hanyalah perintah dan larangan (allow-denny) di atas sebuah tombol-tombol keinginan ibu. Detik-detik inipun masihlah berlangsung atas pendiktean kepada anak-anak tercinta di rumah. Semua atas nama slogan: "Toh demi kebaikan mereka!". Yup, betul! Kebaikan versi ibu ataukah ayah. Kita luput bahwa sesungguhnya di dalam rumah kita, ada dua kutub energi jiwa. Kutub orangtua dan kutub anak-anak. Keduanya seberang-menyeberang. Kenapa? Karena bilangan usia yang berbeda.

Ilmu air

Senakal apapun anak-anak di rumah bila berhadapan dengan orangtua yang memiliki 'ilmu air', nakal anak-anak itu akan berhenti juga nantinya, tidak akan berlama-lama nakalnya sebab kenakalannya 'diiyakan', dan dikuatkan dengan pemberian emosi terbalik dari ayah-ibu. Emosi terbalik adalah password untuk memahami tingkah anak-anak, sebuah keadaan emosi yang orangtua tak hendak lakukan tetapi wajib dilakukan dengan cara membalik energi negatif ke energi positif. Lagian mana ada anak-anak sanggup nakal bertahun-tahun! Tahukah kita bahwa kenakalan anak-anak itu manusiawi? Tahu jugakah kita bahwa bila kenakalan (negatif) dihadapi dengan represif (negatif) maka kenakalan akan kian menguat, mengental dan berlawanan arah dengan apa yang kita kehendaki. Jadi begini saja, kehendak anak itu lucu, unik dan aneh-aneh, mosok kita mau ikut-ikutan aneh dan unik dengan menantangnya dengan kalimat-kalimat ancaman seumpama: Papa akan masukkan ke toilet dan papa kunci dari dalam kalau masih nakal. Lah, unsur edukatifnya di mana ini? Palingan yang terorbit adalah traumatik ringan, kemudian akan diingat-ingat terus oleh sang anak. Sungguh bukan ini cara terbaik tapi cara bablas dan putus asanya seorang ayah atau ibu.

Lalu adakah teori baku dalam mendidik anak? Jawabku: relatif! Sebab teori terbaik itu, justru berada di otak dan perasaan sang ayah-ibu, mereka yang paham seluk-beluk jiwa dan fisikal sang anak. Lantas, apa salahnya bila Anda (ayah-ibu) mencatat perilaku anak-anak lewat ingatan, pengamatan, ataukah via notes. Soal bagaimana 'mengatur' mereka, akan lebih mudah dengan cara mencari tipikal anak-anak sejak dini. Bisa saja banyak talenta-talenta baik dan wajar yang terselubung dari anak-anak kita, tetapi kita luput mengembangkannya disebabkan kita asyik 'membully' anak-anak kita dengan perilaku temporer mereka yakni kenakalan anak-anak. Kita pun sangat luput bahwa kenakalan anak-anak itu berlangsung singkat, kita saja merasa lama/durasi nakalnya karena mudah terbebani oleh perasaan tak respek kepada perilaku negatif anak-anak. Ilmu air dirindui di sini, sebab 'masa anak nakal' itu hanyalah masa 'kebingunan' dengan banyaknya opsi-opsi untuk berperilaku. Mosok mau disamakan perilaku kita yang sudah orang tua begini dengan anak-anak yang masih berbau baby powder itu!

Okai..Salam Kompasiana Malam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun