TAK tega menuliskan judul artikel se-asing ini! Karena menggunakan kata 'orang lain', walau sesungguhnya tanpa serahim, sesama Kompasianer tiada istilah orang lain. Kita telah dibariskan dalam bingkai persaudaraan-persahabatan-perkawanan. Idealnya artikel ini berjudul: Cara cerdas mengkritik tulisan sesama! Tetapi, inilah keputusanku dalam mengaksiomatika tema, demi mengumpan perhatian pembaca (baca: Kompasianer).
Katakanlah bahwa menulis itu seni, katakan pulalah mengkritik itu seni juga! Pekerjaan mengritik adalah 'profesi bawaan lahir', setiap individu sangat mampu dan mumpuni dalam melajukan kritik atas tulisan orang lain. Kritik perlambang 'antitesa', Â ketidaksetujuan akan sebuah artikel dengan titik singgung yang berlainan pula. Lalu, apakah kritik itu mesti berbuah ketersinggungan? Kecewa? Sakit hati? Ataukah upaya-upaya penjatuhan terhadap penulis lain? Tiada jawaban yang mutlak, di sini! Tetapi faktanya, tiada sedikit penulis tak lebih baik keadaannya setelah dikritik dalam bentuk kritikan ringan, sedang dan berat! Lantas apa tujuan kritik bila gagal mengembangkan dan mendorong kebesaran jiwa sesama penulis itu sendiri?
[caption id="attachment_420136" align="aligncenter" width="300" caption="id.wikihow.com"][/caption]
Oleh sebab misteri kritik itu, ada yang terterima dengan utuh, pun ada yang tertolak dengan sempurna. Hal-hal apakah sebetulnya hingga kritik itu bisa diapresiatif atau rejection? Dan Kompasianer Makassar ini membagikan cara-cara cerdas dalam mengkritik tulisan orang lain. Penulis bagikan ke Anda secara cuma-cuma, disertai bonus bila keberuntungan Anda berlanjut. ha ha ha
Telisik niat!
Penulis baik, penulis jujur (honesty). Itu prinsip alamiahnya. Maksudnya, jujur akan niatnya! Adakah penulis yang benar-benar berniat kesatria, bernawaitu baik dalam mengkritik tulisan orang lain? Rela tak rela, yang terfaktakan adalah niat menjatuhkan orang lain via tulisannya, itu banyak terjadi, bukan? Sungguh jelas niat penulis itu yakni menyudutkan tulisan orang lain sekalian penulisnya. Ini sungguh tak elok, karena merugikan tukang kritik, juga tiada untung bagi yang dikritik!
Solusinya, bentangkan niat sepanjang-panjangnya dalam jalur niat yang humanis, standarized kemanusiaan dan patron saling mengajak untuk berdiri. Bukan sebaliknya; yang berdiri tegak didorong-dorong supaya terpental dan terjerembab hingga dampak luar biasanya adalah seseorang berpotensi untuk berhenti menulis karena tiada kenyamanan lagi di seisi qalbunya.
Penyatuan niat semisal 'Kuingin melihat orang ini lebih baik' ataukah 'Tujuanku agar orang ini berubah perilakunya dalam menulis'........Kulakukan segalanya demi kebaikannya! Itu indah sekali kawan. Menggeser sikap-sikap, gesture, dan perilaku sesama penulis tiada mudah untuk terjewantah. Perilaku itu rumit adanya, persoalan sepele, orang bisa tersinggung berat! Perkara sepele juga, bisa mendaulat seseorang tersanjung tinggi-tinggi. So. luruskan niat, Insya Allah, Tuhan ngijabahi! Apa makna niat manusia tanpa Faktor X! Campur tangan Tuhan, menjadi intervensi pokok-utama-mendasar. Tukang kritik yang memiliki niat curang, tiada akan 'dibantu' oleh Tuhan dan malaikat-malaikat. Ia justru bersekutu dengan panas apinya iblis bin setan a.k.a si hati jahat.
Telisik siapa penerima kritik!
Tamsil teranyar, seorang Kompasianer mengkritik tulisan Kompasianer lainnya. Obyek kritik itu, penulisnya memang di tiap artikelnya 'tiada sempurna' bila tak disasaki kesalahan huruf, kelalaian sufiks dan kealpaan konsonan. Jelas ini berhubungan dengan kebuntuan fonologi. Betapa sayangnya karena pengkritik tersebut tiada pernah mau tau akan sebuah penyakit yang dinamakan disleksia. Sebuah gangguan pada ranah baca-tulis yang serius! Anda yang terlanjur mengkritiknya akan menyesal di suatu senja..eh di suatu waktu setelah mengetahui bahwa penulis itu sedang berurusan dengan 'gangguan' cara menyusun kata, huruf per huruf dan urutan-urutan afiksasi. Canggih ya istilahku! Ha ha ha.