Selaku ayah, penulis bergidik membaca surat pribadi Mary Jane asal Pilipina. Ditujukan kepada Presiden RI, Joko Widodo, tentunya. MJ tengah giat menyentuh sukma Pak Presiden seperti penggalan tulisannya ini: "Bapak yang mulia, saya percaya bahwa bapak sebagai ayah untuk anak bapak, bisa merasakan apa yang anak bapak rasakan, kalau anak bapak yang ada di posisi anak-anak saya, pasti sangat menyakitkan karena mengambil hak-hak anak saya, untuk bersama ibu mereka dengan tidak mengabulkan permohonan grasi saya"
Perempuan terpidana mati itu, emosionalnya menukik di ujung hidupnya! Dan, dari se-isi surat pribadi yang dituliskannya, coretan tangan di ataslah (versi penulis) yang sukses menyusutkan keputusan Joko Widodo hingga MJ batal total ditembak mati. Sedang semalam tepat jam 00.35 di lapangan tembak Limus Buntu, Nusakambangan, Jawa Tengah, eksekusi dilakukan oleh regu tembak Polri di dini hari tadi kepada delapan terpidana -tak dapat disebut Bali Nine lagi- karena minus MJ.
[caption id="attachment_413515" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: www.tweeter.com"][/caption]
Ini primary opinion Pak Presiden, soal munculnya secara tiba-tiba Maria Kristina Sergio, perekrut MJ, itu second opinion. Sudut lain, penulis memandang bahwa hubungan ke-asiatenggara-an antara Indonesia dan Pilipina, nyaris atau hampir-hampir dikatakan 'bersih'. Tak ada persoalan yang membuat kedua negara ini untuk berada pada relasi 'panas-panasan'. Ini juga menjadi determinan bahwa trade record Pilipina (Malacanang) tak buruk-buruk amat di mata Jakarta. Bolehlah kita sedikit 'berpolitisasi' di sini, karena akan terjadi perbedaan perasaan bila berseteru dengan Australia, kita memiliki sejarah panjang dalam aksiomatika yang lebih sering kelabunya ketimbang enak-enaknya.
Di hadapan penulis, tiap-tiap hukuman mati (pancung, gantung, tembak, etc), kontroversinya pun setia mengikutinya, seolah semacam sepaket. Belajar pada gigihnya seorang MJ yang minim pendidikan, toh ia sukses menunda kematiannya dengan tekniknya sendiri, cara sederhana dan tak alot bak pertemuan dua kepala negara yang membuat kita harap-harap cemas. Manny Pacquiao, terhitung tiga kali memohon untuk penangguhan tembak mati MJ.
Beitulah azas-azas komplementer atas upaya tiada henti atas seorang warga negara yang divonis mati di negara orang lain. Perkara mati, memanglah hak prerogatif Allah, dan soal ikhtiar juga hak hamba Allah. Amat bernilai perkuliyahan yang telah dijewantah MJ kepada kita (pemerintah Indonesia), karena bisa jadi penundaan tembak mati kepada MJ adalah hal yang pantas! Maka, penulis flash back ke beberapa TKW kita yang telah dipancung di luar negeri, bisa jadi itu keputusan yang kurang tepat. Ini sindiran buat kita semua (negara, NGO dan ahli negosiasi, dan lain-lain)
Kali ini, Joko Widodo, pun ketiban mujur. Karena kemurahan hatinya, kematian MJ terpending. Dan ini sebuah pelipur lara atas telah wafatnya delapan kasus besar obat terlarang, lainnya. Maka sejalanlah penulis dengan Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi bahwa eksekusi mati ini bukanlah hal yang menyenangkan, ini soal hukum! Benar pernyataan ibu ini, pengedaran narkoba dan eksekusi maut memang bukanlah 'zona senang' atau trik balas dendam. Hal yang tak menyenangkan inilah, Â membuat hubungan Indonesia-Australia, kembali demam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H