Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kasihanilah Komentator

12 Juli 2015   18:35 Diperbarui: 12 Juli 2015   18:45 2142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

AMATAN terdekat di seputar Kompasiana (selain frekuensi menulis, teknik menulis, aneka lomba, etc) adalah attitude penulis dalam layanan komentar. Di situ kadang saya merasa sedih bila menyaksikan diriku sendiri dan juga kawan-kawan Kompasianer yang tak (belum?) menggubris komentar yang tersubmit di tiap-tiap artikelnya, di blog ini. Penulis serupa itu kurang mengesankan! Walau tiada dosa sama sekali bila tak membalas komentar. Tiada pulalah artikelku ini, mengarah kepada seseorang, sebab ini marka umum. Sebab lagi, penulis di hadapan Kompasiana mutlak sederajat, sebangsa dan serendah-setinggi. Konkritnya, penulis beken dan non-beken, tiada menyasar arah artikel ini untuk keduanya. Sebab lagi, beken atau tak beken, keduanya tetap disebut penulis.

Tetap Niatkan!

Saat memulai menulis, maka paketkan niat untuk kuasa membalas komentar kawan-kawan. Insya Allah, Gusti Allah ngijabahi! Karena kita mau apa bila Allah 'memblok' kemauan dan kemampuan kita untuk melayani komentar dari sekalangan orang (pembaca) yang sudah bertengger di tiap kolom komentar. Selain itu, niat adalah sugesti, move psikis, dan aset diri hingga niat itu akan otomatis tersimpan di alam bawah sadar kita (ini guide psikologinya, red). Saat tancapkan niat, mengikutlah cikal-bakal layanan komentar, walau masih sebatas 'draft' dalam pikiran dan belum terwujud dalam psikomotorik, tetapi yakinilah layanan komentar itu akan terlakukan suatu waktu.

Hindari Alasan Populer

Beragam kendala dalam melayani komentar kawan-kawan: internet ngadat, gadget/laptop rusak, sibuk dengan pekerjaan, minim waktu dan lain-lain. Inilah alasan populer yang kerap kita jumpai, penulis sarankan untuk menghindari aneka penyebab tersebut! Tetapi bila sulit untuk menjinakkannya atau susah menghindarinya maka penulis tidak akan menjadikannya masalah serius sebab tiada perkara yang bisa dipaksakan, bukan? Hanya satu perkara yang teramat sulit penulis terima bila alasan tak melayani komentar disebabkan oleh "monster kemalasan!". Berikutnya, air mengalir selalu dimulai dari hulu, begitupun dalam aktifitas apa saja, termasuklah dalam dunia tulis-menulis dan zona komentar-komentaran, hulunya pastilah niat (intensi). Tak memiliki niat melayani komentar, maka itu membutuhkan energi khusus untuk tetap diam. Begitupun diperlukan energi istimewa untuk diberi label yang kerontang nilai semisal penulis A adalah penulis kurang pandai menghormati tanggapan yang masuk. Kita sangat bersyukur bahwa para Kompasianer bukanlah tipe user yang resek dan terang-terangan mengungkapkan 'kekecewaannya' itu, tetapi yakinilah bahwa (lagi) komentator akan menuntaskan perasaannya lewat 'diam'.

Opsi Kepuasan Jiwa (Plong)

Bila cinta diterima, uuh bahagianya. Bila proposal di-accepted, wih puasnya, dan bila kangen terkabul, wah girangnya. Fakta psikologiknya, terdapat ragam alternatif untuk sebuah kepuasan jiwa, salah satunya adalah kepuasan saat sukses melayani komentar kawan-kawan yang masuk di artikel kita. Jangan lupa bahwa yang terlayani komentar, pun merasa senang/happy dengan catatan: selama komentar itu tak mengarah kepada kegaduhan-dehumanistik! Anda boleh membeli kepuasan dengan material serupa handphone hi-tech, kendaraan bermerek ataukah rumah idaman (bukan Partai Idaman ya, hihihi). Tetapi kita pun sanggup menggaet rasa puas yang tak butuh dana banyak, yakni membalas komentar saudara-saudara kita di tulisan pribadi kita. Sekaligus itu cerminan kepribadian kita (personality).

Rating Komentar

Kompasiana turut mengapresiasi warganya yang 'berprestasi' dan 'berkinerja' dalam layanan komentar, hingga angka-angka komentar tidak akan statis (diam). Data numerik itu akan bergeser menjadi ajang tambah-tambahan kuantifikasi komentar, bukankah hal ini amatlah menyenangkan hati? Katakan IYA bila memang IYA! Hahaha maksa ni yeee. Namun di balik segala itu, sesungguhnya beberapa perihal yang hendak kita amati-rasakan-alami saat kita berbalasan komentar antara lain: merawat relasi-relasi kognitif, mengutuhkan sisi interaksi, menjadi zona anjungan-anjungan emosional dan juga sisi ibadah tentunya (muamalah).

Cukup sederhana dan kelewat singkat artikelku, kali ini sobat. Dan, maafkanlah Kompasianer Makassar ini, sebab di isi artikel ini, pembaca takkan jumpai kata-kata: "Kasihanilah Komentator", aksara ini sungguhlah terselubung tetapi ia ada. Hehehe

Salam Kompasiana Malam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun