Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Jokowi Tuang Air Minum, Apanya yang Salah?

23 April 2015   05:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:46 2425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah yang keliru saat Jokow Widodo nuangin air minum di gelas Ibu Mega atau Pak Aher? Dari sudut pandang dipakai penanggap/orang: 1. Sisi politik dan 2. Sisi budaya. Secara politik/pemerintahan, itu tidak pas! Tiada hierarkis! Mosok presiden yang lebih tinggi kedudukannya tuangkan air minum kepada pejabat yang lebih rendah. Ini merendahkan harkat seorang presiden. Benar gak? Bisa benar, bisa salah!

[caption id="attachment_412028" align="aligncenter" width="300" caption="sumber foto: fesbuk Ibu Maria G.Soemitro dan Ilyani Sudrajat"][/caption]

Sisi budaya pun, rada-rada tak terdefenisikan. Suami yang tuangkan air minum di gelas istrinya, misalnya. Apanya yang aneh? Oh gak ada yang aneh! Terus, soal kebiasaan Joko Widodo yang nuangin air minum ke pejabat beberapa tingkat di bawahnya. Salahnya di mana? Ya, salahnya karena terpublikasi. Dilihat semua orang! Itu saja. Dan penulis terlanjur juga melihat peristiwa yang tak lazim itu, juga turut berkomentar.

Sisi antropologi, budaya itu fleksibel. Tiada sekaku dan saklek. Contoh di keluarga, kabarnya ayah itu determinator dan penguasa di tingkat rumah tangga. Titahnya susah dibantah! Ini pun keliru, tidak seperti itu terjemahannya. Ayah itu pemimpin, manajemen keluarga, atas kuasanya. Ini buktinya: putrinya tiba-tiba menelpon ayahnya, agar dijemput di gerbang perumahan sekarang. Ayah pun segera menjemput putrinya. Lalu, di mana kekuasaan sang ayah? Kok malah disuruh-suruh sama putrinya!

Penulis justru memandangnya sebagai harmoni dan dinamisasi interaksi seorang Joko Widodo, sang presiden. Itu perilaku spontan! Apakah yang dilanggar Joko Widodo perihal 'kelakuan' yang justru cermin kerendahan hati, refleksi untuk semua pemimpin, dan model yang bagus dikembangkan. Itu bukan pencitraan di mata penulis. Huh..jaman sekarang, mudahnya orang berbuat baik namun sulitnya orang menerimanya. Kebaikan saja, susah diterima, gimana dengan kejahatan? Pasti ditolak 1/2 mati!

Apakah yang nyiyirin sikap presiden itu salah? Gak salah kok, cuman masih banyak hal yang lain lebih subtansi untuk dinyinyirin. Tapi sepertinya budaya nyinyir ini, sudah menjadi bagian vital dari keseharian kita. Barangkali kisah fiktif ini bisa menjadi renungan, bahwa tiga orang tetanggaku, penulis meminta komentarnya terhadap seorang lelaki muda yang baru saja lewat di halaman rumah kami. Tanggapan Si A: Ia tersenyum kepada kita karena takut. Respon Si B: Ia bungkukkan badan karena tulang belakangnya ada masalah. Reaksi Si C: Ia bertabik-tabik karena ada yang suruh. Nah, inilah contoh simulasi budaya yang aneh, setia melihat orang dari sisi negatif. Dan itu fakta habit, saat ini! Barangkali budaya ini, kita balikkan, kembalikan posisi semula. Memandang orang dari sisi kebaikan, kepositifan dan humble! Itu hanya bisa terjadi, bila dibiasakan!

Salam Kompasiana Pagi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun