Hadir keirianku melihat 'tingkah' manusia smart yang satu ini, betapa energiknya beliau dalam melambungkan artikel-artikelnya. Kompasianer yang aktif kupanggil "abangku'' ini dan dibalas dengan panggilan "Saudaraku atau adikku" kepadaku. Beliaulah representasi dari 'usia senja' yang teramat produktif dalam menulis di media ini. Reportasenya bersahutan dan opininya bersentuhan dengan negara yang didomisilinya, Australia. Piawai dalam menemukan ide menulis.
Penulis yang masih tergolong lebih muda (sepertiku) dari beliau, terengah-engah mengikuti jejaknya. Ia yang telah di usia tak muda lagi, sepertinya memiliki 5 jiwa dan 100 spirit dalam dunia kepenulisan, termasuklah buku-buku yang dituliskannya, dan sempat penulis dititipkan sebuah buku darinya. Dialah Penyelamat Komunitas Usia Senja, yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan.
Tak berniat menyanjung, tapi inilah faktanya. Rahab Genendra seperti hidup dan nafasnya diwakafkan untuk dunia puisi (fiksi). Sejak awal, kumelihat puisi-puisinya relevan dengan sikon kekinian, ia cermat memilih tema puisi. Sebuah pembelajaran 'terselubung' yang hendak ia 'ajarkan' bahwa menulis puisi itu mestilah membaca peristiwa-peristiwa yang sedang On Fire.
Barangkali saja. 'orang ini' menjadi inspirator bagi penulis puisi lainnya di Kompasiana. Tak bermaksud mengesampingkan penulis puisi lainnya, namun satu kesan kuat yang penulis amati bahwa Rahab Ganendra itu, seorang fiksianer yang visioner, punya magic, dan memiliki daya jelajah imajinasi yang luas. Ia menyerukan agar kita berjibaku dalam dunia puisi, benar-bernar seorang penyeru puisi. Maka, kutitelilah ia sebagai Kompasianer Penyelamat Puisi.
Kompasianer ini, sudah amat familiar di mata pembaca, juga sangat khas kalimat-kalimatnya. Artikel apapun yang dia publikasi, tiada pernah lepas dari bahasa emak-emak, melaju begitu saja, tanpa beban psikis dan tanpa diikat oleh kekakuan bahasa. Paragraf-paragrafnya dilenterai oleh kocekan, kocokan dan 'kekacauan' sana-sini hingga pembaca tak mampu menahan tawa. Lapaknya akrab dengan 'kegaduhan', tanpa perlu pengamanan yang didatangkan dari pos kamling atau security Gedung DPR.
Canda ala emak-emak menjadi taste dari Kompasianer ini, patron membalas komentar, pun 11-12 dengan artikel-artikelnya. Ia tetap rawat gaya tuturannya, ya Bahasa Emak-ologi. Maka, lazimlah bila kumahkotakan dia sebagai Kompasianer Penyelamat Bahasa Emak-emak.
Jangan sangkakan bahwa penulis sedang memuji-muji Kompasianer ini, karena penulis meletakkan penilaian yang menurutku obyektif, tiada membesar-besarkan atau 'ngarang-ngarang'. Bila hendak menambah wawasan tentang kaidah-kaidah bahasa (Indonesia-Inggris-Belanda), maka bacalah artikel-artikel Pak Gustaaf Kusno Prabudi. Hadir kekagetan-kekagetan ringan ketika kita membaca tulisan-tulisannya, penulis amat bersyukur atas kehadiran Pak Gustaaf di sini. Penulis kerap 'dibantu' oleh beliau dalam membenahi naskah-naskah skripsi, thesis, disertasi, jurnal dan laporan-laporan ilmiah lainnya. Penulis tidaklah over acting bahwa beberapa karya ilmiah di kampusku 'terselamatkan' oleh tulisan-tulisan Kompasianer humoris ini. Kusematkan kalimat kepada Pak Gustaaf sebagai Kompasianer Penyelamat Bahasa.