[caption id="attachment_313869" align="alignleft" width="300" caption="masduacahaya.blogspot.com"][/caption]
DI TIAP perjalanan ke daerah atau ke provinsi lain, penulis rajin memirsa televisi. Stasion televisi lokal, tentang budaya, anak-anak, lingkungan. Penulis ketat dalam memilih channel, tayangan dan menu acara. Di Manokwari, ada stasiun televisi lokal, namanya Televisi Papua.
Televisi ini -meskipun lokalan- namun siar budaya, siar moral, siar santun dan seterusnya, amatlah menggizikan batin dan isi kepala. Perkara-perkara humornya juga oke, sekelas Epen Cupen. Cerdas leluconnya, natural bahasanya, tak canggih-canggih amat. Sulit nian penulis jumpai bahasa-bahasa norak bin urakan bin canda kebablasan. Seterusnya, penulis apresiatif sebab TV Papua kerap menonjolkan keberagaman dan multi etnis.
Sudah Tahu
Kala istriku, mengumpat acara-acara tak layak tayang alias 'kering morality', penulispun menimpali: "Yah, jangan ditonton toh ma". itu saran kuatku kepada istriku, pun anak-anakku. Pihak televisi, pun tiada pernah memaksa-maksa Anda untuk menontonnya. Lagian, stasiun televisi kita, semuanya telah komplit, mulai acara 'angel' sampai kelas 'satanic', semua tersaji. Televisi itu cerdas sekaligus idiot. Yang unik buat penulis, mengapa program-program idiot dan dehumanism, kok malah ditonton banyak orang?
Persaingan antar stasion televisi di Indonesia, wajarlah. Loh negara yang terbanyak stasion televisinya, yah Indonesia. dan televisi yang terbanyak mengadopsi 'acara luar', yah televisi Indonesia juga. Terlebih, sulit jumpai stasion televisi yang benar orisinil dalam bersiaran. Mereka memakai jalur: "Satu Berita Untuk Semua". Borongan siaran.
Karakter
Penulis pernah berkhayal rendah, sebaiknya stasion televisi dikendalikan oleh 'pusat', tak semau gue tayangkan acaranya demi rating-rating, heboh-hebohan dan pesta bully mem-bully. Dan satu-satunya televisi Indonesia yang memiliki karakter, hanyalah TVRI. Berkarakter tetapi minim pemirsa. Konon kabarnya, program TVRI gak HOT, masih memegang kokoh kultur-kultur Indonesia. Dan TVRI telah 'ditinggalkan' sejak lama. TVRI memang gak 'macem-macem'. Ketat dan diawasi dengan baik. Pembaca dan reporternya, sopan-sopan, dan manusiawi dalam berbusana. Apakah karena TVRI sebagai televisi 'resmi' ataukah memang itu sudah jadi standar penyiarannya?
Kiat
Tetanggaku marah-marah, ia bilang matikan saja itu televisi, acara apa begitu, tidak mendidik! Buat penulis, semua acara televisi mendidik, ada yang mendidik baik, ada yang mendidik jahat. Karena bipolarnya acara televisi (baik-Jahat), tugas kita memilah-milahnya, toh itu karena kita pun sudah pada dewasa. Jangan latah ikuta-ikutan dengan 'kebodohan' televisi kita. Menyikapi jibunan acara televisi, juga menuntut kita sebagai pemirsa untuk cerdas. Katakanlah: "Mari Menjadi Penonton Cerdas". Motto inilah sebagai filter atas rusaknya (kalau bisa disebut bobrok, red) dunia pertelevisian kita.
Bukankah, saat kita menonton yang baik-baik, pun kita akan baik-baik pula? Sebaliknya, bukankah kebanyakan menonton yang buruk-buruk, pun akan berdampak kepada memori kita (cerebellum), dan kognitif kita direspon, afeksi kita dirangsang, dan sisa menanti waktu untuk meniru ucapan-ucapan kasar bin animalistik yang ditayangkan oleh televisi yang tak berideologi.