[caption id="attachment_318692" align="aligncenter" width="300" caption="www.liputan6.com"][/caption]
CAMPUR aduk rasaku, saat memlototi tayangan SCTV, tentang caleg bernama Sarono. Caleg Partai Amanat Nasional (PAN) itu, terwawancara. Hadir aksara bermakna di bibirnya: "Mau menyalurkan aspirasi di mana, mengerti perasaan saya, mau ke mana? Itu semua gak pernah tercapai", itu penggalan kalimat Sarono yang memelas dan sedih. PAS banget seloroh SCTV, inilah caleg-caleg nekat. Sarono salah satu contoh pas bahwa menjadi calon anggota legislatif, bukan dominasi mereka yang memiliki modal kuat, dan berpendidikan tinggi. Warga Desa Karang Tengah, Sragen, Jawa Tengah ini, sehari hari adalah pekerja bangunan. Namun ia bertekad menjadi caleg agar bisa memperjuangkan orang keciil seperti dirinya. (Liputan6 SCTV, 24-Jan-2014).
Satire
Sarono itu, representasi dari jutaan rakyat, tak percaya lagi kepada dewan-dewan. Ia tak mau lagi diwakili, lelah dikibulin. Bedanya saya dengan Sarono, ia sudah tobat dininabobokan, sedang saya belum tobat-tobat juga. Masih berharap dan berharap. Walau sebuah pernyataan yang cukup sadis dari Anwar Fuadi yang sebelumnya mewanti-wanti agar orang miskin dilarang jadi caleg, karena syarat menjadi caleg adalah orang yang banyak uang dan berpendidikan tinggi. "Mana mungkin tamatan sekolah menengah bisa kalahkan profesor doktor", tegasnya. Ini juga pernyataan konyol bin asal bin asumtif bin nekat.
Di balik itu, fakta juga telah terang-benderan bahwa untuk meraih satu kursi harus terpaksa 'hamburkan' uang ratusan juta hingga milyar terkecuali caleg yang bernama Irwan Setiawan, anggota DPRD Jatim dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) membuktikannya. Irwan mengaku hanya mengeluarkan duit Rp 80 juta untuk mendapatkan satu kursi di DPRD Jatim pada Pemilu 2009 lalu. Tentu angka tersebut tidak sebanding dengan banyak koleganya yang disebut-sebut keluar uang hingga Rp 1 miliar. (tribunnews)
Halusinasi
Berjuang demi rakyat adalah dehalusinasi dari apa sesungguhnya yang bersumber dari halusinasi, impian terbesar dari caleg dengan ciri-ciri menambah income, popularitas individual, egoistik. Ini auto kritik yang abadi, alamiah bahwa sulit menemukan caleg tanpa pamrih walau slogan-slogannya sangat menarik sekaligus tak menarik malah 'memuakkan'. "Jaman sekarang susah cari pekerjaan, mending adu nasib jadi caleg walau sawah sudah tergadai untuk biaya operasional", ungkap seorang anak muda (23 tahun) yang menjadi caleg di kampungku. Ini kesannya kok dagang yah, untung rugi dan pengorbanan material ada di sana.
***
Kembali ke caleg-caleg nekat, subtansi 'ulah' mereka untuk jadi caleg adalah tamparan yang kesekian kalinya kepada caleg-caleg sekrang bahwa mereka sudah tak tahan lagi menonton akrobatik tipu-tipuan dan sejuta janji yang teringkari dari para caleg itu: "Semua janji mereka tak ada yang tercapai, makanya saya berjuang sendiri", sindir Mas Rono. Penulis hanya ucapkan kepada Mas Rono, selamat berjuang saja, takutnya jika Mas Rono pun akan terjebak di pusaran dilemma menjadi caleg karena wajib nurut pada kebijakan partai sebagai media atau kendaraan menuju caleg yang mengusung Mas Rono.
Begitulah gambaran caleg nekat dari Sragen ini, orang-orang menyebut begitu, ah ada yang lebih nekat dari yang ini, yakni nekat korup saat jadi caleg dan nekat 'Jualan Allah' atas nama kantong pribadi, pun telah dianggap biasa untuk jualan ayat-ayat suci. Inilah kenyataan sosial budaya kita, banyak jalan alternatif untuk mengebiri rakyat. Benarlah ucapan KH.Muhammad Zuhri bahwa menjadi caleg tak mungkin kaya kecuali jika Anda membuat pintu darurat, pintu darurat itu bernama korupsi.
Buat penulis, Mas Rono jadi caleg atau tidak, itu bukan subtansinya, tetapi sikap Mas Rono itu adalah kegetiran rasa yang pedih sekali atas perilaku dan tingkah caleg yang sama sekali tak bisa disebut House of People's Representative.
Miris memang...!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H