Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penulis: Pinang Dibelah Dua

21 Januari 2014   06:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:38 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1390261217470770071

[caption id="attachment_317183" align="aligncenter" width="300" caption="www.jungleredwriter.com"][/caption]

Eviyanti, itu nama istriku. Aku aktif berdebat dengannya, mulai perkara pasta gigi yang habis, soal olahraga, politik, seksologi, agama, sosial dan budaya sampai tema novel. Nyonya Armand itu, kalau marah, tambah cerdas. Ia makin fokus dalam amukan kata-kata. Wajahnya tambah 'cantik' kalau kesal atau sedang tak amat setuju atas sikap-sikapku, teknik bertuturku atau guyonanku yang over. Aku yang Kompasianer ini, tiada mudah untuk mengalah.

Ibu dari anak-anakku itu, kalau terdesak, tersudut atas logika-logikaku. Ia pasti keluarkan jurus jitu bak umumnya ulah perempuan. Menangis! Itulah bazookanya, the gun yang mampu membuatku diam. Karena lelaki sekaligus suami sepertiku, saat melihat perempuan menangis, aku bingung sebingung-bingungnya. Ampun DJ.

"Papa itu kalau menulis, wah bagus-bagus. Tapi kepada mama, papa cukup jahat", sindir istriku. "Mestinya itu, papa dan tulisan papa, seperti pinang dibelah dua. Tulisan papa baik, papa juga harus baik dong. Sinergis, gitu loh papa", timpuknya.

* * *

Dan.....ketika aku melumat artikel-artikel inspiratif di media ini, menggurui atau mendoseni. Teramat sering aku membatin: "Apa iya, penulis artikel ini sudah berperilaku seperti apa yang dituliskannya?". Jika saja, apa yang mereka tuliskan tak sesuai dengan sikap-sikap keseharian penulisnya, maka kusebut tulisannya itu sebagai Tulisan Tak Bertuan.

Mengapa lagi ada istilahku Tulisan Tak Bertuan? Karena tulisan itu berjuang sendiri, ia kehilangan tuannya, ibunya raib, sebab nafas tulisan itu entah siapa yang punya. Tulisan itu lepas berkahnya, penulisnya tak seirama gerak-geriknya atas apa yang dituliskannya dengan apa yang dilakonkanya. Writing and Writer, No relationship.

Kutermemori akan sebuah tulisan di Kompasiana ini, ada seorang penulis sangat terampil menyarankan agar jangan sekali-sekali menulis dalam keadaan emosional alias marah, galau atau sedang sensitif. Belum lagi, saran-sarannya yang mengajak Kompasianer untuk bijak dalam berkomentar. Lalu, ia sendiri di lapak penulis lain, ia malah asyik-asyik memamerkan komentar-komentar yang kontra bijaksana, kurang bersahabat dan kekeringan humanisasi.

Ah, segala ini hanyalah pandanganku saja yang maha keliru. Bisa jadi...!^^^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun