Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ombak Meratap di Losari

9 Maret 2015   10:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:57 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14258688531235335994

[caption id="attachment_401579" align="aligncenter" width="300" caption="sastracinta10.blogspot.com"][/caption]

================================

Terkail di pukat cinta. Terjebak, keluhmu. Tak sanggup pisah, pun tak kokoh tapaki liukan kisah cinta ini. Berduri, katamu. Terjal, bilangmu. Bertebing-tebing! Lalu engkau marah. Tahukah engkau, marah karena rindu, itu tragedi. Rindu karena marah, itu kemuliaan. Dan...., engkau melirik sepotong kayu kering, tergeletak di pasir itu. Bergegas engkau genggam, ayunkan ke arahku. Punggungku telah rela didentum kayu cinta. Hendak memukul tubuhku, rupanya. Melemah ayunan kayu itu berderak-derak, engkau lepaskan dan sembab matamu. Janur tua nyiur di kepala kita, berbaris melambai, memandang engkau dan aku. Kemudian, engkau dekap aku, memadu, bergunung rasa, memadu lagi, berdakian bahagia itu. Dan, berbisiklah engkau sangat perlahan: "Aku mencintaimu". Kudiam! Takut berucap sepotong kata. Kutakut meluka!

Ombak meratap,  berkuluman di bibir Pantai Losari, Makassar. Sepasang ombak menatap kayu itu, kayu menangis. Sesali dirinya memukul-mukul cinta, itu getiran. Kayu itu dititah untuk membela cinta, menangkis segala rupa rintang yang melenakan. Sebuah perjuangan indah.  Lagi, sepasang ombak, mengelana dari samudra yang teramat jauh datangnya, Atlantik namanya. Demi cinta mereka, berdua. Pun, demi cinta kita, berdua.

Itu hikmah, itu kiriman makna sang ombak!

Kekasih! Tiadakah engkau pandang mereka yang tiada lelah-lelahnya, sepasang ombak berderai, berjuang atas nama cinta. Dihempas kapal-kapal, perahu-perahu nelayan tua, dipangggang matahari. Mereka berpantang untuk sebuah kata bodoh; menyerah. Hingga keduanya bersampaian di sini, di bibir pantai ini. Yakini itu, ombak itu adalah aku, sosoknya sosokku yang berlainan, kekuatan cinta yang tak paham batas cinta. Sebab, aku teramat mencintaimu. Tiada celahku untuk takluk, tak jua mengalah demi dahsyatnya kerinduan. Cinta memang begitu! Tiada tara! Tiada kata roboh! Seumpama!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun