Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Nopol Cantik: Budaya Kapitalis yang Mematikan

13 Maret 2014   17:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:59 1868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mobil Audi Q5 milik mantan Ketua Mahkamah Konstitusi nonaktif Akil Mochtar, terparkir di halaman KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (9/10/2013). Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="546" caption="Mobil Audi Q5 milik mantan Ketua Mahkamah Konstitusi nonaktif Akil Mochtar, terparkir di halaman KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (9/10/2013). Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption]

PENULIS tenggerkan artikel ini, di area Sosial Budaya-Kompasiana. Ini memanglah perkara budaya, kultur buatan atas order Nomor Polisi (nopol) kendaraan. Berikutnya, telah marak pemahaman masyarakat akan artefak bayar-bayaran, demi menggaet nopol istimewa, demi pajang-pajangan di depan-belakang sebuah mobil/motor. Hingga kendaraan pribadi mendapat penanda, simbol identitas owner, ataukah selebihnya sebagai 'life style' di dunia transportasi dan kepemiilikan -yang beda-beda tipis dengan 'bangga-banggaan'- dalam format keseharian manusia, di seputar kita. Jelas fenomena ini, terkategori dalam untaian kepuasaan jiwa (bagi pemilik nopol cantik versi yang bersangkutan, red). Berderet pembelian nopol cantik atas nama: Tanggal lahir, hari pernikahan, tanggal kharamah, paduan singkatan suami-istri, nama anak, kekasih, identitas perusahaan, profesi, dan sebentuk alasan lainnya. Dan terurailah secuil budaya kecil, kemudian mengembang dan kian melebar, saling hitung-hitungan, mutualisme dalam transaksi, teknik Untung Vs Untung walau telah mengistitusikan bad-habit, perilaku pamer, ulah-ulah devian. Semuanya jadi absurd. Itulah yang kusebut Nopol Cantik dan Budaya Kapitalis yang Mematikan.

Riak Ekhebisi Personal

Ingatanku, melambung. Di dekade '90-an. Geser-menggeser harga diri, martabat, personifikasi. Segalanya dapat diwakilkan dengan numerikal, permainan angka-angka. Dan, demi semua itu, melelehkan budaya palsu-memalsu nopol. Demikianlah, seorang karibku. Memaksakan memuati mobilnya dengan nopol keren: B 1 RA. Ia dengan bangga berujar kepada Kompasianer Makassar ini: "Nopol ini mewakili kota kelahiranku, Bira namanya, siapa yang tak kenal Bira bos!!". Ya, itu memanglah bentangan fakta akan eloknya Pantai Bira, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Pantai eksotik ini, sungguhlah memesona dengan deru-deru ombaknya menjilat butiran pasir-pasir putih. Pantaslah, karibku ini membanggakannya, dan disematkan nama BIRA di mobilnya.

Peristiwa lainnya atas 'penggandengan' nopol cantik tak asli ini, mengharuskan sahabatku itu, berurusan sejenak dengan pihak kepolisian di bilangan Polsek Tamalanrae, Makassar. Klausulnya: Pelanggaran atas penggunaan nopol palsu. So, bukan soal cantik atau jeleknya sebuah nopol, tetapi ini sehubungan dengan ter-kliknya sebuah kultur pemalsuan. Kisah-kisah serupa ini, masihlah banyak tersisakan, tak mungkin pula penulis mengilustrasikannya satu per satu, atau orang per orang, dan pelanggar per pelanggar. Di Makassar sendiri, lalu lalang -kumeyakini bahwa mayoritas nopol palsu- yang sedang dipertontonkan di jalan raya, dan di kedipan mata para Polisi Lalu Lintas kita, serta di hadapan warga masyarakat. Ironis memang!

Kubertanya pada seorang Perwira Pertama

Rasa penasaran jualah, hingga semalam, penulis bertamu khusus kepada seorang karib. Penulis dengan seriusnya, bertanya: "Apakah ada aturan jual-beli nopol di daerah ini ces?" (kata ces adalah balutan kata jika dua orang telah sangat akrab versi Bugis-Makassar, red). Selanjutnya, Perwira Pertama berpangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP) itu, wajah yang sangat ekspresif, menyambut pertanyaanku dengan penuh antusiasme. Jujur, penulis sangat ingin menyalahkan sepenuh-penuhnya kepada POLRI atas masih berlanjutnya 'Masa Uji' jual-beli nopol. Dan, hematku: Ini suatu gejala kejiwaan, alangkah sulit terdefenisikan, walau itu benar-benar mendera masyarakat kita. 'Sakit jiwa' ini tak terdeksi tetapi rambahannya jelas, menyeruak. Meng-ekhebisi segala -yang berpotensi- untuk dipertontonkan di khalayak atas nama 'kedirian' dan sense of belonging.

Lalu, kusaksikan AKP itu, melempar pandangan sejauh-jauhnya, ia berucap dengan nada agak tinggi: "Tidak ada itu jual-beli DD". (Baca: DD=Nopol Sulawesi Selatan). "Tapi buktinya, jual-beli itu masih berlanjut ces", protesku. Ujaranku ini, nampaknya menstimulasinya, ia ber-oktaf tinggi, akhirnya. "Sudah banyak LSM yang protes itu, sudah banyak yang menulis di SdP koran-koran. Dan KAU perlu tau, LSM-LSM yang protes itu, jika mereka urus SIM, toh mau saja dikompensasi. Gratis. Dan mereka (LSM) bungkam".

Penulis termangu sejenak mendengar kata-katanya, sepertinya ini memanglah fakta lain, bahwa ketika LSM sedang berteriak lantang, kemudian LSM diperlakukan 'istimewa' oleh sang penerima protes, maka suara keras itu, pun mulai melemah, sayup, nyaris tak terdengar. Dan vokal itu, akhirnya fals dan mati suri alias mate colli' (Baca: Layu Sebelum Berkembang).

Rasanya, ruang sisi batinku tak sanggup mendengar semua ini. Namun, sepertinya AKP itu, menggasakku lagi: "Kalau KAU bilang polisi itu bobrok. Tanya juga masyarakatmu, mengapa mereka mau saja meminta-minta nopol. Mengapa mereka rela-rela saja membayar nopol hingga jutaan? Polisi takkan menjual jika tidak ada masyarakat yang membeli".

Penulispun membalasnya dengan nada cukup keras juga: "Ah, masyarakat juga tak akan membeli jika tak ada penjual". Ucapanku ini, sukses mengerutkan jidat sahabatku itu, kutahu pasti ia sedang berpikir alot untuk kebaikan institusinya, atas nama supremasi kepolisian yang didengung-dengungkan sepuluh tahun, silam. Dan kusangat mengenal 'kader' Hoegeng ini, ia salah seorang perwira polisi terbaik yang pernah kukenal^^^

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun