Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Tawarkan Kartu Kredit Haruskah Memaksa Nasabah?

8 Mei 2014   00:11 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:45 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

INILAH nomor telpon ber-area DKI Jakarta (02129963xxx) yang mengusikku dua pekan terakhir. Masih kumaklumi. Dan saat mengajar -sebagai dosen tamu- di Program Studi Kedokteran/Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako, Palu-Sulawesi Tengah. Penulis sudah terkunci kata toleransi untuk sebuah tawaran kartu kredit dari sebuah bank pemerintah (BUMN).

Penulis langsung reject telepon bernomor di atas, saya reject bukan karena saya sedang memberi kuliah di depan kelas, tetapi saya tekan tombol tolak karena saya digamit traumatik atas kesan memaksa dari sales kartu kredit dan sebuah paket khusus yang konon akan menguntungkanku, dan ratusan juta yang akan kuterima suatu saat nanti.

Penulis sungguh tak diberi kesempatan berbicara, saya mencurigai bahwa penelpon dari sales bank itu sedang membaca teks yang berisikan 'iklan' untuk saya sebagai nasabah sejak 22 tahun, silam.

"Kartu kredit, kami kirimkan di alamat kampus bapak atau alamat rumah bapak?". Begitu ucapan penutup sang penelpon, lalu dia diam. Saya emosi dan menjawab: "Maaf, saya tak berkenan dikirimi kartu kredit". Keesokan harinya, 'beliau' menelpon lagi, saya masih berbuka diri untuk komunikasi, dan inilah yang harus saya katakan: "Untuk urusan kartu kredit, saya wajib bicarakan dengan istriku Mbak". "Kami tunggu konfirmasinya Pak. Terima kasih telah mengganggu bapak. Selamat beraktifitas". Itu kalimat sang penelpon berjenis kelamin perempuan. Penulis teramat mengingat kata-kata yang diucapkannya.

Penulis tidak bisa pastikan apakah penulis kurang memahami etika dan estetika dalam mekanisme tawaran-tawaran produk dari bank? Ataukah Si Mbak itulah yang minim pemahaman akan kesantunan dan azas kepatutan dalam menawarkan produk ke nasabah sepertiku.

Gaya kapitalis dengan teori sosialis itu seolah mengisi cara berpikirku bahwa mana ada bank yang mau rugi? Tapi saya juga bisa bilang, mana ada nasabah yang tidak mau untung? Simbiose (mutualisme, komensalisme dan parasitisme) seolah menjadi warna dan pagutan dalam sebuah bisnis pada marketting perbankan. Cukup sudah nasabah sepertiku dibebani duit administrasi, biaya sms banking, sumbangan pemotongan ini dan itu. Itu sudah sangat luar biasa memperkaya perbankan tertentu.

Boleh-boleh saja memasarkan produk, boleh-boleh saja seseorang atau 'pegawai bank' memburu target, tetapi janganlah nasabah diperlakukan seperti ini. Dipaksa-paksa, langsung deal sepihak, tanpa persetujuan dari nasabah. Ini seolah jebakan, cukup taktis bahkan nyaris saya berkata: Ini cara licik!

Sebab tak semua nasabah memiliki karakter yang sama, nasabah lain (mungkin?) wajar dibantu dengan kartu kredit, tapi saya 'tak butuh' bantuan itu karena saya tidak disiplin dalam penggunaan uang, kusadari itu. Selebihnya, kartu kredit itu sangat tepat bagi nasabah-nasabah yang memiliki usaha/bisnis. Lha macam saya yang hanya mengandalkan gaji bulanan, sekali-sekali nyambi sebagai dosen terbang, pun hasilnya kusyukuri walau tak seberapa.

Para sales produk perbankan sebaiknya dilatih lagi untuk memahami siapa-siapa yang berpotensi untuk dijadikan nasabah kartu kredit. Jangan hantam rata, asal nasabah, terus ditawarin dengan cara-cara yang belum (tidak) humanis. Perbankan wajib benahi karyawan/karyawatinya agar relasi sosial antara bank dan nasabah tidak melewati ambang batas, hubungan yang wajar dan tetap sebagai mitra yang wajar pula. Penulis juga menyadari bahwa garda perbankan itu berada di tangan-tangan cekatan para tenaga-tenaga pemasaran (marketing) tetapi sungguh disayangkan jika nasabah merasa dijajah, dieksploitasi dan tidak berpijak pasa rasionalisasi dan kerelaan nasabah^^^

Univeritas Tadulako, Palu-Sulteng, 7 Mei 2014

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun