[caption id="attachment_386049" align="aligncenter" width="300" caption="www.kompasiana.com"][/caption]
INI pengamatanku, bukan riset. Sebagian pengguna media sosial, menggugat makna MERDEKA. Sebagian lainnya mempertanyakannya, dan separuh memaknai mundur akan hakikat kemerdekaan. Sesungguhnya, lebih beruntunglah kita bila saja menyukuri dengan sepenuh jiwa raga akan kemerdekaan ini. Dan sekelompok lain menghumorkan arti merdeka yakni ketika gambar Soekarno tersusun rapi di dompet. Hihihi.
Merdeka itu: bisa menulis di Kompasiana, mau error kek, mau stabil kek, tetap menulis. Itu namanya merdeka. Merdeka itu bisa ngobrol sama siapa aja. Merdeka itu tak berharap HL/TA/FA dari Admin. Merdeka itu, tidak 'takut' pada Admin, Tokoh Nasional, Profesor, Jenderal, Kopral. Sebaliknya, Adminlah yang harus takut kepada ratusan ribu Kompasianer. Mau apa Admin kalau Kompasianer mogok massal. Hihihi
Merdeka itu soal sepele, perkara sederhana. Gak perlu mumet mikirnya. Merdeka itu di seputaran kita. Merdeka itu kebersamaan. Orangtua merdeka mendidik anak-anaknya, pun anak-anak merdeka menerima pendidikan dari orangtuanya.
Merdeka itu bisa menulis benar, pun bisa menulis tidak benar, selama kita yakin bahwa yang kita tulis itu adalah benar.
Merdeka itu bisa tertawa-tawa sesama Kompasianer, tua ataupun muda, remaja maupun remaji, kaum Soekarno maupun Sukarni, kaum Kartono maupun Kartini.
Merdeka lainnya adalah menulis tanpa diatur-atur oleh siapa saja, semau guelah. Karena menulis itu pilihan, bukan dipilihkan. Itu juga merdeka. Selanjutnya, penulis merdeka, takkan gentar oleh sesiapa di Kompasiana, baik penulis beken maupun tak beken. Penulis merdeka, berteman dengan siapa saja. Menerima atau menolak pertemanan, itu juga kemerdekaan. Menghapus pertemanan, itu juga kemerdekaan. Ha ha ha
Merdeka itu bebas menulis, bukan 'menulis bebas'. Karena menulis bebas bisa saja menyinggung kemerdekaan dalam hal SARA. Tulisan mau terkomentari atau gak, don't care dan eksis menulis. Itu baru merdeka Choy. Jadi soal merdeka, soal simpel, gak ribet-ribet sampai bicara soal ekonomi raksasa. Wah bisa terpasung otakku kalau soal ini dipikirin. Itu namanya menjajah pikiran, kolonialisme kognitif dan penjajahan otak.
Merdeka itu sanggup mengurusi tulisan sendiri, bukan sibuk mengurusi tulisan orang lain. Mandiri menulis, mandiri berkomentar dan swakelola dalam tersenyum. Senyum simetris tentunya, bukan senyum terpaksakan.
Menulis di Kompasiana itu bukan paksaan, kapan aja mau nulis. Bisa tiap hari, bisa sekali sepekan, bisa sekali sebulan bahkan bisa sekali dalam setahun. Malah Mas Har itu merdeka banget, gak pernah nulis di Kompasiana sampai 17 Agustus 2014. Tapi jangan sangka, komentar-komentarnya high class masbro.
Merdeka itu kenikmatan, kenikmatan dalam pertemanan, tukar guling pendapat, subsidi silang wawasan, dan barter pengalaman. Itulah sekelumit makna merdeka, versiku. Bukan versi quick count, real count dan KPU. Sebab merdeka bagiku adalah ketika jemari bebas menari di atas tombol, kapanpun kumau.