Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Miris! Jakarta Banjir, Dileluconkan

10 Februari 2015   05:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:31 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14234923371653000628

[caption id="attachment_395865" align="aligncenter" width="300" caption="www.pinterest.com"][/caption]

Kolom: Miris! Jakarta Banjir, Dileluconkan

Oleh: Muhammad Armand

JAKARTA-ku banjir, banjir pula gambar-gambar di medsos. Inilah centang-perenang dunia maya, segalanya bisa dileluconkan. Termasuk 'musibah' Jakarta, tentang banjir yang tiada luput dari ejek-ejekan via gambar. Visualisasinya dilabeli beragam keterangan, semuanya demi kelucuan, ketertawaan. Itu tujuannya. Lalu, saya hubungi seseorang yang kirim gambar 'lelucon' itu. Hebat sekali, dia jawab: "Tujuannya agar warga Jakarta bisa terhibur". Wah, saya kelewat idiot memahami ini. Apa ia bener-bener untuk menhibur, tapi kok gambarnya justru terasa memilukan yah.

Lelucon memanglah bagian subtantif dalam kehidupan ini, ia adalah bumbu interaksi, penyedap rasa pergaulan. Artikelpun begitu, tanpa bumbu lelucon, kok lain rasanya. Tak mengapalah berlelucon namun tetap bersandar kepada kewajaran dan taste kemanusiaan. Bahwa tetangga sedang terancam hidupnya, sedang sengsara. Rasa-rasanya lelucon itu tak dibutuhkan, yang diperlukan adalah ucapan prihatin, tautan empati dan keturutan dalam suasana perasaan yang mereka alami. Coba di balik, gimana bila 'korban' banjir Jakarta adalah kita. Pastilah, kita baru bisa merasakan betapa mencemaskannya itu efek air bah, aliran sungai tiba-tiba menyapa teras-teras rumah kita.

Kita memang (termasuk saya, red) masih diberi peluang untuk menertawakan banjir Jakarta, apapun teknik kita untuk mengejek-ejeknya. Tiap manusia memilik talenta untuk terbahak-bahak akan suatu peristiwa pilu, namun perbedaan di antara kita adalah kesanggupan untuk menunda tertawaan itu karena sikonnya tiada akurat, pun tiada simetris. Sebab, banjir Jakarta bukanlah sirkus, bukan pula zona lawakan. Ini semua murni 'bencana alam' yang tiada seorangpun menginginkannya. Walau sesungguhnya, banjir itu juga 'rencana tak sengaja' oleh manusia akan ulah-ulah yang melalaikan lingkungan hidup, untuk tetap terjaga. Benarlah satu Firman Allah yang menegaskan bahwa tiada terjadi kerusakan di bumi, di darat dan lautan kecuali perbuatan manusia.

Apa lacur, ini kesalahan kolektif, tiada seorang saja yang wajib disalahkan, lagi pula menyalahkan seseorang, toh tak membuat air bergulung-gulung itu tiba-tiba pergi semua. Pastinya, saya dan mungkin Anda, menyayangkan akan attitude sesama, yang super kreatif mengirimkan gambar-gambar lelucon soal banjir Jakarta. Sekalipun tak semua gambar itu adalah lelucon, ada juga mengandung unsur edukasi semisal gambar yang membandingkan Jakarta dengan daerah lain di Indonesia. Gambar itu jelas meminta perhatian bahwa Jakarta harus berbenah sekuat tenaga.

Tapi inilah kita (saya, red), telah sepaket, sepaket yang saya maksud adalah setiap bencana selalu dibarengi dengan lelucon-lelucon. Lelucon yang justru membuat keadaan makin menyesakkan dada, baik penerima lelucon, terlebih yang mengalami korban banjir di Jakarta itu. Entah sampai kapan 'budaya negatif' ini terhenti? Dan entah sampai kapan rasa peduli kita benar-benar terpatri, minimal lewat doa. Ya, mendoakan saudara-saudara kita yang dilanda banjir di Jakarta itu.

Salam Kompasiana dan turut prihatin atas banjir Jakarta^^^

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun