1000-artikel.blogspot.com
MOMOK pembenturan tulisan fiksi dan non fiksi, mirip dengan dikotomis riset kuantitatif dan kualitatif. Penganutriset kuantitatif berkata: "Apa itu riset kualitatif, gak ilmiah". Tersinggunglah mazhab kualitatif dan membalas sindiran: "Apa itu kuantitatif, kolektor angka-angka mati". Hahaha....
Musuhanlah kedua penganut penelitian ini. Masing-masing memiliki penganut alot. Terjadi pelemahan pada penganut lainnya. Mirip-miriplah dengan dua aliran tulisan/penulis; Fiksi dan Non Fiksi. Kata penganut Non Fiksi: "Apa itu fiksi, pembohong, industri khayalan". Lalu orang-orang fiksi tak mau kalah dan berkata: "Apa itu non fiksi, penyembah data". Wkwkwkwkwk.
Bila dijernihkan, fiksi non fiksi tak boleh dihadap-hadapkan. Nyatanya, boleh dihadap-hadapkan oleh kalangan tertentu. Manusiawi itu 'bertengkar' sekaligus tidak manusiawi. Sebab, baik fiksi maupun non fiksi, keduanya hasil karya yang wajib dijunjung harga. Nyaris saja saya katakan bahwa kita belumlah terkategorikan manusia dewasa. Memandang keahlian lain lebih rendah dan menyanjung-nyanjung spesialisasi kita sampai lupa diri.
Saya tak sedang membela salah satu pihak, di sini. Bukan karena saya penulis, penyuka dan penikmat fiksi dan non fiksi. Hanyalah menyayangkan bila menyudut-nyudutan itu masih berlanjut. Yang harus kita jewantahkan adalah keduanya saling mengokohkan, menyemangati, menambahkan energi dan spirit. Itu jauh lebih berhikmah, humanistik dan berdaya ledak akan saling menghidupkan, saling mencahayai dan memperkaya nilai-nilai. Waduh, hidup ini kelewat singkat Bro. Kerontang jadinya bila masih 'eksis' meramu-ramu perbedaan.
Polisi dan Perampok
Berteman dengan seorang reserse, dia bersahabat dengan perampok. Jelas ini gak ilmiah, bagaimana bisa, dua profesi berlainan bisa kolaborasi? Tetapi ini fakta, ini data, ini realitas. Apa maksud analogi Polisi dan Perampok inikah? Hemmm, jelas sekali tujuannnya; polisi belajar pada pencuri dan pencuri belajar pada polisi. Â Kisah ini dapat dijurnalismekan, diopinikan dan difiksikan. Lah, penulis fiksi dan non fiksi, apakah tujuannya menulis? Ujung-ujungnya, dibolak-balik bagaimanapun, yah perubahan perilaku pembaca. Bukankah tulisan berpotensi dalam penambahan koginitif? Dan bukan pulakah kognitif dapat menjadi daya ungkit untuk sebuah manifestasi perilaku?
Sama Baiknya
Fiksi itu industri imajinatif, Non Fiksi itu pabrik kognitif, nalar dan tata cara berpikir via artikel. Keduanya memiliki persamaan yakni dibutuhkan gejala psikologi, gejala 'kemauan' dam gejala 'emosi' untuk manifestasi akan sebuah karya/tulisan. Fiksi dan Non Fiksi, laksana dua tetangga yang saling membutuhkan. Gak ada alasan untuk gak akur! Â Lagian, tilikan anatomi kedokteran, kedua jenis aliran tulisan, menggunakan otak yang sama, di tempurung kepala. Non fiksi, cenderung mengeksploitasi otak kirinya untuk berpikir, berlogika, menganalisa peristiwa/berita. Dan 'orang' fiksi' lebih berat pakai otak kanan untuk praktik intuitif, berkesenian, ber-sastra.
Maknanya apa? Maknanya kedua belahan otak itu kita miliki; otak kanan dan otak kiri. Perpaduannya itu adalah harmoni, tarulah seorang ahli pesawat terbang, Pak Habibie. Saat bekerja, beliau gandrung dengarkan musik. Atau Gus Dur yang logika-logika yang di atas rata-rata, justru doyan musik Beethoven. Artinya lagi, kedua zona otak ini, saling kerjasama, kolaborasi dan saling 'nyebrang'.
Penulis fiksi butuh penulis non fiksi, penulis otak kiri, butuh otak kanan. Demikian pula sebaliknya, karena toh gak ada orang yang mau dicopot salah satu bagian otaknya. Ha ha ha