Ia bergegas menerabas hujan yang mengguyur deras.Â
Di senja yang muram, dan kuyup basah, ia tak lagi hirau dengan dirinya yang menggigil disergap resah.Â
Lantaran rindu  juga yang kian membuncah, ia terus melangkah. Asa untuk bersua dengan senja bergurat jingga, adalah segalanya.Â
Perempuan muda itu belakangan ini sedang jatuh cinta kepada senja bergurat jingga memang. Sebagaimana lazimnya yang sedang kasmaran, membuat perempuan itu pun lupa dengan ruang dan waktu, serta segala yang berbingkai akal sehat sekalipun.
Di kepala dan dalam dadanya hanyalah ada sebuah senja bergurat jingga.Â
Tapi bagaimana mungkin bisa ditemukan, lantaran sekarang ini tak ada senja yang didambanya itu, dan yang ada hanyalah senja dengan silhuet muram yang basah dibasuh guyuran hujan.
Malahan tidak hanya sekarang ini saja, sejak dua bulan yang lalu senja kemerahan bergurat jingga nyaris tak pernah lagi menampakkan diri. Musim hujan dengan anomali yang sedemikian sulit diprediksi, membuat senja yang didamba perempuan itu pergi entah kemana.
Bisa jadi karena sudah lama tidak bersua pula, ditambah dengan tertambatnya rasa cinta yang sedemikian dalamnya terhadap senja, membuat perempuan itu alpa dengan keadaan yang sebenarnya.
Pameo klasik bahwa cinta selalu saja membuat buta mata dan hati korbannya, sangatlah tepat ditujukan kepada perempuan itu.
Perempuan itu sudah tak peduli dengan segalanya. Lantaran ia yakin senja bergurat jingga akan ditemuinya jika terus dicarinya tiada henti. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H