Semua orang, laki dan perempuan, tua maupun muda, kaya dan miskin, pintar atau juga bodoh, tampak bersujud simpuh, tanpa nyali lagi ketika aku berjalan di depannya.Â
Mereka sudah tak berkutik lagi. Mati kutu setelah mereka tahu siapa aku.
Ya, aku adalah pemegang otoritas yang paling berkuasa dalam lingkup kehidupan di duniaku sekarang ini. Sekali kuhardik dan kumaki, siapapun bakal langsung kehilangan nyalinya. Seperti rumput putri malu. Walaupun rantingnya berduri, tapi sekali terusik akan langsung menciut seluruh daunnya.
Hanya saja mungkin mereka tahunya aku ini sudah memiliki kekuasaan seperti saat ini semata. Sama sekali tidak tahu bagaimana caranya aku bisa meraih kekuasaan itu sebelumnya.
Tapi sudahlah. Sepertinya latar belakang, atawa juga asal-usul diriku yang sesungguhnya jangan sampai ada seorangpun yang mengetahuinya. Sebab, jangan-jangan jika masa laluku diketahui orang lain, bisa jadi akan menjadi bumerang yang akan meruntuhkan kekuasaanku saja.
Ini rahasia yang harus kupegang sendiri. Dan ibu jari kaki pun tak boleh sampai mengetahuinya.
Sudahlah. Tak perlu membahasnya lagi. Lebih baik kunikmati bagaimana nikmatnya berada di puncak kekuasaan ini, sekarang ini hingga waktu yang semoga untuk selama-lamanya.
"Pelayan, bawa ke sini sarapan pagiku!" teriakku memecah ruang dan waktu.
Lewat sudut mataku, tampak beberapa pelayan yang selalu siap melayaniku dengan tergopoh-gopoh, namun tetap tak lepad dalam sikap penuh hormat, datang menghampiri dengan membawa segala yang kuminta di tangan masing-masing.
Walaupun ekspresi wajah yang tetap kupasang sedingin es kutub selatan, namun dalam hati tergelak juga setiap melihat tingkah mereka. Oi, tak ubahnya robot sahaja!
Bahkan tanpa diperintah lagi, salah seorang dari mereka langsung menyuapiku, manakala hidangan sarapan pagi telah siap dan lengkap tersedia di atas meja makan.
Akan tetapi di dalam kesendirianku, terkadang muncul kerinduan bagaimana ketika merasa lapar aku harus bersusah payah, pergi menyusuri setiap sudut jalan, kemudian mengetuk pintu rumah, hanya untuk berharap mendapat sesuap nasi dari mereka - orang kaya yang sudi berderma.
Terbayang dari sekian pintu rumah yang tertutup, dan kuketuk, paling hanya satu-dua saja yang dibuka. Tapi itu pun bukannya hendak berbagi, si empunya rumah justru malah menghardik dan memaki, mengusirku agar segera enyah pergi.
Dengan gontai lantaran menahan lapar yang sudah tak terperi lagi, aku pun beranjak pergi seraya mengutuk dalam hati.
"Dasar pelit! Kikir! Awas, kalau suatu saat aku ditakdirkan kaya, dan menjadi seorang penguasa, akan kuhukum orang semacam itu secara lebih menyakitkan daripada yang aku rasakan sekarang..."
Ahirnya aku harus mengais tempat sampah yang penuh lalat, karena bau busuk yang menyengat, hanya untuk mendapat makanan sisa yang terbuang, untuk menangsal perut yang keroncongan ini.
Ada keindahan yang sulit dilukiskan, maupun ditulis dengan kata-kata puitis sekalipun di masa itu. Masa-masa dimana aku sebagai sosok gelandangan yang kerap dicaci-maki, dan dipandang sebelah mata yang penuh hinaan.
O, nikmatnya! Manakala dihardik dengan sebutan gembel yang tak berguna...
Kenikmatan yang menyakitkan. Dan aku sungguh-sungguh menikmatinya dalam kepasrahan.Â
Bisa jadi sekarang pun setiap orang yang sudah tunduk, dan berada di bawah telapak kakiku sedang merasakan seperti yang dulu kurasakan.
Hanya saja sayangnya, dan sungguh sayang seribu kali sayang, karena semuanya sudah takluk dan tunduk, sehingga akhirnya tak ada  yang harus kuhardik dan kumaki lagi. ***
Gegerbeas 4-5-6/4/2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H