Apabila sekarang ini seorang Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Menkumham), Yasonna Laoly, masuk dalam tim pengacara partai berlambang kepala banteng itu dalam kasus suap komisioner komisi pemilihan umum (KPU), Wahyu Setiawan, adalah suatu hal yang wajar. Karena yang bersangkutan merupakan kader dari partai yang dipimpin Megawati Soekarno Putri itu.
Hal itu dikatakan oleh Presiden Jokowi, menanggapi keterlibatan salah seorang anggota kabinetnya dalam kasus yang dianggap melibatkan PDIP.
Sementara Jokowi sendiri, selain sebagai orang nomor satu dalam pemerintahan negeri ini, tercatat pula merupakan "petugas partai", maksudnya PDIP -- tentu saja, sebagaimana yang pernah diungkapkan Megawati sendiri.
Sehingga bukanlah suatu hal yang aneh lagi bila pejabat negara, yang konon dalam negara yang menganut sistem demokrasi, sebagai abdi rakyatnya, masih ewuh-pakewuh mengurusi  partai politik tempat asal-muasal yang bersangkutan "dilahirkan" menjadi pejabat negara, atawa sebagai abdi seluruh rakyat di negaranya.
Terlebih lagi patut diingat, PDIP merupakan partai politik yang meraih suara terbanyak dalam pemilihan umum 2019 lalu. Sehingga persepsi seluruh rakyat di negara ini adalah rakyat yang menjadi konstituen pada saat itu.
Oleh karena itu, apabila masih ada masyarakat yang mengerutkan dahi ihwal keterlibatan pejabat negara dalam parpol tempatnya dibesarkan, dan dianggap tidak sesuai dengan teori demokrasi yang pernah dipelajarinya di bangku sekolahan, berarti yang bersangkutan dianggap sudah ketinggalan jaman.
Teori  yang dipelajari di sekolah, sesungguhnyalah hanya sebuah metode para pemikir yang senewen. Tokh di dalam kenyataannya, antara teori dengan fakta yang ada sekarang sangat bertolak belakang.
Sudahlah. Lupakan saja apa yang pernah dikatakan James Freeman Clarke, seorang penulis, teolog, dan politikus Amerika Serikat di abad 19 yang menyebutkan: Bila politikus berpikir tentang pemilihan mendatang, negarawan berpikir tentang generasi mendatang.Â
Terlebih lagi kalau bicara masalah moral dan etika dalam hal politik dan negara sekarang ini, sungguh telah kadaluarsa.
Kenapa demikian?
Karena jika bicara hal itu, perdebatan tak akan habis-habisnya. Malah jangan-jangan akan menimbulkan tontonan yang "seru" saja. Sebagaimana yang terjadi antara Masinton Pasaribu dengan Saor Siagian yang ditonton jutaan rakyat Indonesia, yang kebetulan menonton televisi beberapa waktu lalu.