Memiliki anak-anak yang sudah berkeluarga, dan domisilinya berjauhan, penuh dengan romantikanya memang. Ada suka dan duka sebagaimana biasanya, tentu saja. Sukanya manakala  menjelang tiba perayaan hari raya keagamaan, atawa juga libur panjang lainnya,
Anak-anak bersama keluarganya pulang mudik untuk berkumpul sembari menikmati liburan di kampung halaman yang lama mereka tinggalkan. Â Sementara dukanya, misalnya saja ketika di kampung sedang musim panen hasil pertanian, anak-anak di kota ingin ikut menikmatinya, maka untuk mengirimkannya itu selalu saja menimbulkan masalah.
Sebagaimana yang seringkali dialami beberapa tahun lalu. Misalnya saja apabila kebetulan di kampung baru  usai musim panen padi. Meskipun anak kami yang tinggal di Jakarta sudah mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi sebagai orang tua, saya dan istri saya tetap merasa perlu juga untuk mengirim mereka beras hasil panen dari sawah milik kami. Apa lagi yang namanya beras yang baru dipanen, citarasanya akan jauh berbeda dengan yang sudah diperjualbelikan di pasaran. Mungkin penyebabnya karena terlalu lama dalam pendistribusiannya.
Untuk mengirimkan beras dari kampung di Tasikmalaya ke Jakarta, biasanya kami menitipkan pada tetangga, atawa kerabat yang kebetulan akan pergi ke Jakarta. Sebagaimana biasanya mereka yang disebut urban yang mencari nafkah sebagai pedagang, atawa buruh di sana.
Berhubung untuk pergi ke Jakarta itu harus naik kendaraan umum, yakni bus AKAP (antar kota antar provinsi), kami pun memberikan jasa titipan sebagai pengganti ongkosnya. Bahkan terkadang, biaya transportasi yang bersangkutan pun kami tanggung juga.
Dalam tempo satu hari kiriman kami pun sudah tiba di tempat tujuan. Terlebih lagi apabila orang yang mendapat titipan kami itu belum mengetahui alamat anak kami, maka kami pun memberitahu anak kami lewat tilpon untuk menjemput kiriman di terminal.
Hanya saja pengalaman menitipkan kiriman melalui jasa kerabat atawa tetangga tersebut, terkadang tidak semulus itu juga. Pernah juga beberapa kali kiriman itu tidak sampai ke tangan anak kami. Misalnya saja ketika mengirim beras seberat lima belas kilogram, dan kemudian menurut keterangan orang yang dititipkannya disimpan di dalam bagasi bus, di saat turun di terminal, dan barang titipan itu akan diambil, ternyata sudah tidak ada.
Menurut penjelasan orang yang membawa titipan itu, konon saat bus masuk terminal, banyak kuli yang menyerbu bus yang berjalan pelan. Akan tetapi kami tidak mau berburuk sangka. Bahwa perihal kehilangan barang titipan itu semata-mata karena kami kebetulan sedang bernasib nahas saja.
Ada juga pengalaman yang menggelikan sekaligus menjengkelkan dalam pengiriman melalui jasa titipan pada kerabat atawa tetangga tersebut. Misalnya saja kardus yang di dalamnya berisi makanan khas olahan kampung, seperti pepes ikan, atawa rengginang, opak, dan yang lainnya. Ketika diserahkan kepada anak kami, kemudian kardusnya dibuka, ternyata di dalamnya bukan yang kami kirim dari kampung.
Hal itu karena tertukar dengan kardus yang dibawa penumpang lain, dan kebetulan kardusnya mirip dengan yang kami titipkan. Masih mending misalnya jika barang yang tertukar itu lebih berharga dengan milik kami, sementara ini isinya pun sudah pakaian bekas, bau apek lagi.
Seiring berjalannya waktu, terlebih setelah terjadinya revolusi industri 4.0 dewasa ini, hubungan dengan keluarga yang terpisah oleh jarak yang jauh, sudah tidak menjadi permasalahan lagi.