Perselisihan antar warga yang terjadi RT 002, sebenarnya dipicu oleh hal yang sepele: seorang ibu muda, sebut saja S, ketika itu hendak mengantar anak balitanya untuk jajan di warung.Â
Untuk menuju ke warung yang letaknya di ujung gang, S harus melewati beberapa rumah tetangga. Kebetulan di depan salah satu rumah yang dilewati, ada beberapa orang tetangga sekitarnya sedang berkumpul.
Sebagaimana biasa harus lewat di depan seseorang atawa sekumpulan orang, pejalan kaki dituntut untuk mengucap "Punten" (bhs. Indonesia: 1. Maap, 2. Permisi), sebagai bentuk sopan-santun yang masih berlaku.Â
Demikian juga halnya dengan S. Terlebih lagi karena memang antar tetangga, dan sudah saling mengenal dengan akrab. Selain itu S pun saling bertegur sapa dengan mereka. Bahkan kepada anak balita S yang sedang digendongnya, salah seorang dari mereka menggodanya. Sebagaimana halnya kepada anak-anak. Mungkin karena kelucuannya.
Hanya saja di saat S sudah berlalu agak jauh dari mereka, sekira berjarak 10 meter, salah seorang dari mereka, seorang perempuan sebaya dengan S, tepatnya anak dari pemilik rumah tempat mereka berkumpul, Â mengomentari orang yang menggoda anak perempuan balita S dengan nada sinis.
"Wah, anak orang miskin seperti kita harus dipanggil Neng segala. Kalau nang-neng-nong sih boleh-boleh saja," katanya.
Kata-kata N, anak pemilik rumah tempat mereka berkumpul itu rupanya oleh salah seorang dari mereka diadukan kepada S daan orang tuanya.
Tanpa menunggu waktu lama, kedua orang tua S pun menggeruduk N, menanyakan apa maksudnya mengatai cucunya seperti itu. Akan tetapi N dan ibunya, mengelak dan ngotot tidak mengakui telah menghina anak S. Sampai-sampai ibunya N menanyakan siapa orang yang telah mengadukan masalah tersebut.
Rupanya orang tua S penasaran juga. Maka dipanggilnya orang yang mengadukan masalah itu. Meskipun tidak langsung mengakui, N dan ibunya balik memarahi orang tersebut. Disebutnya sebagai tukang adu-domba. Bahkan tidak sebatas mengumpat dan mengomeli, anak dan ibu itu menyerang orang yang dianggap rombeng mulutnya tersebut.
Sebagai seorang lelaki, awalnya yang dituding tukang adu-domba oleh ibu dan anak, hanya mencoba menghindar dan menakis serangan yang dilakukan secara bertubi-tubi. Baik pukulan maupun cakarannya. Hanya saja mungkin karena ahirnya merasa kesal juga, lelaki itu melayangkan telapak tangannya ke pipi ibunya N.
Sontak mendapat tempelengan tangan seorang lelaki, ibunya N langsung menjerit kesakitan sambil memegangi pipinya yang biru-lebam. Kemudian pertikain itu pun dipisahkan oleh seorang tetangga lainnya, seraya menyuruh pulang lelaku itu maupun orang tua S ke rumah masing-masing.